Pembuatan Akta PPAT secara elektronik masih sulit untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan adanya benturan norma antara substansi dari Pasal 147 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah yang membuka peluang untuk pembuatan Akta PPAT secara elektronik, dengan Pasal 1868 KUH Perdata, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yang menjadi batasan terhadap keabsahan Akta PPAT secara elektronik. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengkaji keabsahan, akibat hukum dan kepastian hukum pembuatan Akta PPAT secara elektronik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum (legal research). Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Sumber penelitian yang digunakan berupa bahan hukum primer dan sekunder. Tehnik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Tehnik analisis bahan hukum yang digunakan ialah silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola pikri deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keabsahan Akta PPAT secara elektronik jika mengacu pada Pasal 1868 KUHPerdata, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, maka Akta PPAT secara elektronik menjadi tidak sah. Akibat hukum pembuatan Akta PPAT secara elektronik ialah akta terdegradasi menjadi akta di bawah tangan dan dapat kehilangan keautentikannya. Pengaturan Akta PPAT secara elektronik belum memberikan kepastian hukum karena masih multitafsir dan kontradiktif.