Media massa seperti serial drama merupakan salah satu produk kapitalisme visual yang menarik banyak perhatian publik. Serial drama asal Korea Selatan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Korean drama (K-drama) beberapa tahun ke belakang mendapatkan popularitas luar biasa dari masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Diantaranya terdapat sebuah serial drama yang berjudul Why Her, di mana kehadirannya memuat konteks komodifikasi perempuan sebagai kelompok subordinat. Kajian ini berupaya untuk mengupas performativitas gender dari relasi feminin dan maskulin yang memicu ekspresi kekerasan dan konteks kekerasan simbolik yang direproduksi oleh tayangan serial drama Why Her. Analisis dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan teori segitiga kekerasan melalui substansi tindakan performatif dari relasi feminin dan maskulin, kesempatan (opportunity) dan rasionalitas negatif untuk melakukan kekerasan. Teori segitiga kekerasan merupakan sintesis dari teori performativitas gender Judith Butler dan teori kekerasan simbolik Pierre Bourdieu. Data diperoleh melalui proses observasi terstruktur, studi literatur, dan studi dokumentasi, terutama dalam mengelaborasi kontribusi teori segitiga kekerasan, performativitas gender dari relasi feminin dan maskulin yang asimetris atau disharmoni, kesempatan (opportunity) dan rasionalitas negatif yang memicu ekspresi kekerasan melalui simbol-simbol. Hasil penelitian didapatkan bahwa performativitas gender dari relasi feminin dan maskulin yang asimetris atau disharmoni karena dua hal, 1) Performa karakter yang mendominasi dan 2) Performa karakter yang didominasi. Sedangkan reproduksi simbol-simbol kekerasan dalam serial drama Why Her ditunjukkan melalui, 1) Kekerasan verbal, 2) Kekerasan Fisik, 3) Kekerasan berbasis gender dan 4) Kekerasan Psikologis.  Dengan demikian dalam serial drama Why Her semua skema simbolisme ini berkaitan erat dengan tatanan dominasi maskulinitas yang memanfaatkan kesempatan (opportunity) yang dimiliki untuk menguasai oposisi gender feminin karena memiliki rasionalitas negatif yang memungkinkan seseorang dapat menganggap performa kekerasan sebagai sesuatu yang wajar (proses normalisasi).