Masyarakat adat di Bali menata kehidupan sedemikian rupa untuk menciptakan kerukunan, salah satu hal yang diatur adalah tanah Pelaba Pura yang digunakan untuk tempat upacara dan berkebun, namun dalam penerapannya masih banyak terjadi konflik antara desa dan masyarakat itu sendiri akibat hukum positif yang belum banyak mengatur tentang Tanah Pelaba Pura. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami pengaturan pengelolaan tanah pelaba pura di Bali serta apakah didasarkan pada keadilan ekologis. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan undang-undang dengan menggunakan bahan primer dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan teknik analisis silogisme deduktif dan inter-capaian pada berbagai bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No.38 Tahun 1963 tentang Pengangkatan Badan Hukum yang Memiliki Hak Atas Tanah, dan Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hasil penelitian menemukan bahwa pengelolaan lahan Pelaba Pura di Bali masih belum sejalan dengan konsep Palemahan, yaitu antara manusia dan alam karena tidak memperhatikan lingkungan sementara hilangnya manfaat sebenarnya dari Pelaba Pura dan Pura Kolektor tidak begitu baik dalam menjalankan kewajibannya untuk mempertahankan fungsi Tanah Pelaba Pura.