Penulis Utama : Martono
NIM / NIP : T642008008
× <p>Martono. T642008008. Model Perilaku Kesehatan Keluarga Berbasis Integrated Behavior Concepts (IBC) Untuk Meningkatkan Pencegahan Penularan TB Paru.  Promotor: Prof. Dr. Muhammad Akhyar, MPd, Co-Promotor I: Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., MPd, Co-Promotor II: Dr. Anik Lestari, dr., MKes. Program Studi Penyuluhan Pembangunan/ Pemberdayaan Masyarakat. Minat Utama Promosi Kesehatan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.</p><p><strong>RINGKASAN</strong></p><p>Pendahuluan. Salah satu bentuk kedaruratan kesehatan yang meluas di masyarakat yang bersifat mematikan adalah tuberkulosis (TB) paru. WHO, (2020) melaporkan bahwa secara global diperkirakan tercatat 10 juta orang didunia menderita TB paru dengan sebaran 5,6 juta laki-laki, 3,2 juta wanita, 1,2 juta anak-anak, dan 1,4 juta orang meninggal karena TB paru. Di Indonesia, TB paru menjadi salah satu masalah prioritas yang harus ditangani dan memiliki beban tertinggi ketiga didunia. Insiden tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 385.295 per 100.000 penduduk atau mencapai 845.000 dan angka kematian penderita tuberkulosis sebesar 40 per 100.000 penduduk atau mencapai 98.000 penduduk setara dengan 11 kematian/ jam. Provinsi Jawa Tengah menduduki jumlah kasus TB paru tertinggi ketiga di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk yang besar setelah Jawa Barat dan Jawa Timur dengan insidens pada tahun 2021 sebesar 42,095 per 100.000 penduduk. Keberhasilan pengobatan tuberkulosis sebesar sebesar 85,1 persen dan belum mencapai target dari rencana strategi yang dicanangkan oleh WHO yaitu > 90 persen. Kasus TB Paru di kota Surakarta merupakan penyumbang tertinggi ketiga dari lima besar kota/ kabupaten di Jawa tengah sebesar 231,1 jiwa per 100.000 penduduk setelah Kabupaten Tegal sebesar 716,5 jiwa, dan Magelang sebesar 528,7 jiwa, kemudian disusul Salatiga sebesar 207,7 jiwa, dan Banyumas 198.9 jiwa.  Kota Surakarta memiliki trend fluktuatif perkembangan cakupan kasus TB Paru urutan tertinggi tiga tahun terakhir dari enam kabupaten/ kota di wilayah Solo Raya terdiri Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.<br>Dampak penularan TB Paru dapat mempengaruhi kondisi kesehatan atau fisiologis individu, dan aspek kehidupan yang lain diantaranya gangguan kesehatan jiwa, finansial, beban fisik dan sosial. TB dikaitkan dengan berat badan, indek massa tubuh, dan umur harapan hidup yang lebih rendah, mengurangi waktu aliran ekspirasi, dan fraksi oksida nitrat yang dihembuskan lebih tinggi. Sifat menular dan terapi yang berkepanjangan TB berdampak terhadap tekanan sosial, fisik, dan mental serta kualitas kesehatan pasien TB yang buruk. Tuberkulosis dan pengobatannya memiliki dampak yang signifikan terhadap fungsi sosial, mental, emosional dan aspek kualitas hidup pasien. Infeksi tuberkulosis laten memiliki dampak terhadap kesehatan mental yang lebih buruk yaitu ketakutan, dan kecemasan. <br>Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan insidensi kasus tuberkulosis menjadi 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030. Strategi nasional penanggulangan TB Paru di Indonesia dilaksanakan untuk mencapai target penurunan insidensi TB Paru dari 319 per 100.000 penduduk di tahun 2017 menjadi 190 per 100.000 penduduk di tahun 2024 serta menurunkan angka kematian akibat TB Paru dari 42 per 100.000 penduduk di tahun 2017 menjadi 37 per 100.000 penduduk di tahun 2024. Untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat, program pengendalian dan pencegahan TB paru telah menjadi arah kebijakan pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut diarahkan untuk mempercepat upaya Indonesia untuk mencapai eliminasi tuberkulosis pada tahun 2035, serta mengakhiri epidemi tuberkulosis di tahun 2050. Provinsi Jawa Tengah juga berkomitmen terkait pencegahan penularan TB Paru. Salah satu bentuk komitmen tersebut adalah mengalokasikan anggaran kesehatan pada tahun 2021 mencapai Rp.15.038.500.260.780,30. <br>Pemerintah kota Surakarta juga berkomitmen terkait pencegahan penularan TB Paru. Salah satu bentuk komitmen dengan mengalokasikan anggaran kesehatan pada Tahun 2021 mencapai Rp. 255.864.220.253. Akan tetapi, anggaran kesehatan tersebut sebagian besar masih berpusat pada upaya kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan untuk pembiayaan upaya promotif dan preventif belum signifikan. Selama ini upaya yang dilakukan pemerintah kota untuk mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat masih berorientasi pada penyembuhan penyakit yang artinya apa yang dilakukan belum melibatkan anggota masyarakat secara optimal. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk dapat mengubah persepsi dari “paradigma sakit” menjadi “paradigma sehat”. Selain itu, penyebab belum optimalnya pencegahan penularan TB Paru di Kota Surakarta adalah wilayah tersebut merupakan kab/ kota terpadat penduduk di Jawa Tengah sebesar 12.802 jiwa per-km2 dengan luas wilayah 44.04 km dan peningkatan kepadatan penduduk 12.767 jiwa per-km2. Kondisi ini memungkinkan risiko penularan TB Paru di tingkat masyarakat lebih cepat. Karakteristik penduduk di Kota Surakarta yang beraneka ragam juga mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan program pencegahan penularan TB Paru. Faktor penyebab kegagalan pengendalian dan pencegahan penularan TB paru diantaranya adalah faktor individu yaitu status perkawinan, pengetahuan, tingkat pendidikan, stigmatisasi, kurangnya pengetahuan, jarak jauh ke fasilitas kesehatan, kategori pengobatan dan efek samping obat, hilangnya pendapatan rumah tangga, dan keyakinan yang salah anggota masyarakat tentang konsep TB paru. Selama ini, upaya yang dilakukan masyarakat dalam pencegahan TB paru di Kota Surakarta pada umumnya masih berorientasi pada penyembuhan penyakit. Hasil studi di lapangan menunjukkan bahwa hasil wawancara pada 85 kepala keluarga dari penderita TB paru yang dilakukan pada pertengahan April 2021 di Wilayah Kerja Puskesmas Surakarta diperoleh informasi masih adanya persepsi yang salah (3,2 persen beranggapan bahwa TB Paru susah disembuhkan), kurangnya pengetahuan (2,15 persen stigmatisasi tentang TB Paru merupakan penyakit yang diturunkan), rendahnya dukungan anggota keluarga (12,6 persen menghentikan minum obat TB karena tidak diawasi oleh keluarga), komitmen keluarga yang rendah (22,1 persen ketidakpatuhan anggota keluarga dalam menerapkan protokol kesehatan: memakai masker, cuci tangan, dan menjaga jarak bila kontak langsung dengan penderita TB paru), perilaku berisiko (17,9 persen tidak mengetahui faktor risiko perilaku yang memicu penularan TB, 23,2 persen membuang dahak sembarang tempat dan tidak menutup mulut ketika batuk), 7,4 persen mengatakan bosan minum obat karena durasi pengobatan yang lama, dan sisanya 11,6 persen mangkir periksa teratur ke pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan ini potensial berkontribusi terhadap lahirnya kejadian klaster baru penularan TB Paru ditingkat keluarga. Kondisi yang telah diuraikan diatas mengindikasikan perlunya upaya preventif dan kerjasama yang baik antara keterlibatan keluarga, tenaga dan kader kesehatan atau lembaga kesehatan, dan penderita TB Paru untuk meningkatkan perilaku pencegahan penularan TB Paru secara maksimal. Fungsi keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam melakukan perawatan atau pemeliharaan kesehatan pada anggota yang menderita TB Paru. <br>Permasalahan pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian penularan TB Paru di Indonesia. Capaian program pengendalian tuberkulosis paru (P2TB) pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Indonesia belum mencapai target nasional. Hasil evaluasi program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia masih belum sesuai dan belum efektif. Cakupan keberhasilan pengobatan TB paru di Jawa Tengah sebesar 83,5 persen masih belum mencapai target yang ditetapkan. Kendala yang menghambat penanggulangan dan pencegahan TB paru adalah sistem pelaporan dan pencatatan yang tidak lengkap, serta pendanaan program yang terbatas dan belum efisien, belum optimalnya kontribusi yang diberikan dari petugas kesehatan, rendahnya komitmen dari pihak pemerintah dan rendahnya keterlibatan anggota masyarakat, pelaksanaan pilar program pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) belum berjalan secara optimal dan belum sesuai dengan standar, kurangnya sumber daya manusia (SDM) perawat sebagai ujung tombak pencacatan manual, belum adanya pendanaan program pencatatan dan pelaporan TB paru, serta belum terintegrasinya sistem informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) ke semua unit pelayanan, dan jejaring internal tidak berjalan baik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa upaya yang dapat dilakukan agar berjalan dengan baik adalah peningkatan komitmen manajemen rumah sakit. <br>Sejalan permasalahan, hambatan dan kondisi yang telah diuraikan di atas, betapa sangat pentingnya menaruh perhatian yang lebih serius terhadap perubahan perilaku kesehatan dalam mencegah penularan TB Paru ditingkat keluarga. Untuk menjadikan keluarga mampu hidup sehat, dan mencegah lahirnya kluster baru penularan TB Paru, perlunya menyadarkan anggota keluarga tentang pentingnya fungsi keluarga, dukungan keluarga, persepsi ancaman penyakit, dan perubahan perilaku kesehatan. Pencegahan penularan TB yang berpusat pada keluarga melalui penerapan rejimen perilaku kesehatan yang efektif merupakan salah satu cara untuk memperkecil lahirnya klaster baru penularan TB Paru. Untuk itu, dipandang perlu model yang efektif untuk memprediksi komitmen aksi dan perilaku pencegahan penularan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Surakarta. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam pencegahan penularan TB paru dipelajari dalam teori model perubahan perilaku. Sebuah studi penerapan teori HBM telah menunjukkan kepraktisan dan efektivitas dalam memberikan pemahaman tentang faktor penentu perilaku preventif. Konstruksi teori ini dapat digunakan sebagai panduan untuk mengembangkan dan memprediksi perubahan perilaku pencegahan. Model theory planned behavior (TPB) merupakan kerangka teoretis lain yang juga dapat digunakan untuk menjawab berbagai kesenjangan penelitian terkait perilaku pencegahan dari perspektif kesehatan. Model ini, mengasumsikan bahwa niat perilaku menentukan perilaku secara langsung. Family health promotion model (FHPM) merupakan model teori yang melibatkan keluarga dalam mempromosikan perilaku kesehatan. Model promosi kesehatan ini dapat digunakan untuk menjawab berbagai kesenjangan penelitian terkait perilaku kesehatan keluarga ditinjau dari perspektif dari kapabilitas kesehatan keluarga. <br>Akan tetapi, masih sedikit studi yang menyelidiki dan mengembangkan kerangka teori kombinasi atau gabungan prediktor dari FHPM, HBM, dan TPB yang meliputi fungsi keluarga, dukungan keluarga, persepsi ancaman penyakit, komitmen, dan perubahan perilaku kesehatan. Alasan dilakukan modifikasi dari ketiga teori model tersebut adalah adanya beberapa prediktor dari teori model tersebut yang dapat memprediksi komitmen aksi dan perilaku pencegahan penularan TB Paru. Mengingat kompleksitas faktor yang mempengaruhi fungsi keluarga, dukungan keluarga, persepsi ancaman penyakit, dan perilaku pencegahan penularan TB paru, maka sangat menarik untuk merumuskan model dengan mengkombinasikan prediktor dari ketiga tersebut.<br>Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan desain diskriptif kuantitatif dengan survei cross-sectional terhadap 210 Kepala Keluarga dari penderita TB paru di 17 di wilayah kerja Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Surakarta. Teknik pengambilan sampel dengan acak yang secara proporsional yang memiliki keterwakilan pada masing-masing Puskesmas. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan skala Likert 5 poin yang validitas kontennya diverifikasi oleh 12 ahli selanjutnya di uji dengan Aiken’s V dengan kriteria dengan rentang nilai 0,60-1.00, dan Correlation Coefficients (ICC) dengan kriteria retang nilai 0≤ICC≤ 1. Hasl uji validitas semua variabel laten dinyatakan valid, dengan rentang nilai 0,60-0,80, dan semua variabel laten menunjukkan keandalan dengan retang nilai 0 ≤ ICC ≤ 1.  Lisrel SEM digunakan untuk uji asumsi (outlier, normalitas, dan multikolinieritas), confirmatory factor analysis, goodness of fit model, model jalur dan menguji hubungan kombinasi prediktor dari HBM, TPB, dan FHPM yang terdiri fungsi keluarga, dukungan keluarga, persepsi ancaman penyakit, komitmen, dan perilaku.<br>Hasil Penelitian. Hasil analisis diskriptif dalam penelitian ini menemukan bahwa dari 210 kepala keluarga dari pasien TB paru bahwa sebaran fungsi keluarga sebagian besar dikategorikan sangat baik sebesar 34,8 persen dengan nilai minimum sebesar 27, maksimum sebesar 96; mode = 70; mean = 68,78 (mode > mean); range = 69. Hasil analisis pengukuran loading factor indikator adaption sebesar 0,98 > 0,70; partnership sebesar 1,01 > 0,70; growth sebesar 0,90 > 0,70; affection sebesar 0,94 > 0,70; resolve sebesar 0,90 > 0,70, dan rata-rata sebesar 68.78 > 61,5. Dengan demikian, semua indikator dari fungsi keluarga (adaption, partnership growth, affection dan resolve) memiliki loading faktor yang tinggi dan rata-rata yang lebih tinggi. Sebaran persepsi tentang ancaman penyakit TB paru sebagian besar dikategorikan sangat tinggi sebesar 27,6 persen, nilai minimum = 27, maksimum = 96; rerata = 68,78; mode = 70; mean = 68.78; median = 70, dan range = 69. Hasil analisis pengukuran loading factor indikator pengetahuan sebesar = 0,96; harapan sebesar = 0,97; dan pengalaman sebesar = 0,88, dan rata-rata sebesar 68.78 > 61,5. Dengan demikian, semua indikator (pengetahuan, pengalaman, dan harapan) dari persepsi tentang penularan TB paru memiliki loading faktor yang tinggi dan rata-rata yang tinggi. Dukungan keluarga sebagian besar dikategorikan sangat tinggi sebesar 29 persen, skor minimum = 28; maksimum = 97; mode= 66; mean = 67,56; median = 70, dan range = 69. Hasil analisis pengukuran loading factor indikator emosional sebesar = 0,96; informasi sebesar = 0,96; dan instrumen sebesar = 0,93, dan rata-rata sebesar 67.56 > 62,5. Dengan demikian, semua indikator (dukungan emosional, informasi, dan instrumen) dari dukungan keluarga memiliki loading faktor yang tinggi dan rata-rata yang tinggi. Komitmen aksi sebagian besar dikategorikan sangat tinggi sebesar 23,3 persen, skor minimum= 29; maksimum = 99; mode= 74; mean = 70; median = 74, dan range = 70. Mode pada indikator niat, daya tanggap, tanggung jawab memiliki nilai lebih besar dari rata-rata. Hasil analisis pengukuran loading factor indikator niat sebesar = 0,87; daya tanggap sebesar = 0,87; dan tanggung jawab sebesar = 0,97, dan rata-rata sebesar 70 > 64. Hal ini berarti semua indikator (niat, daya tanggap, dan tanggung jawab) dari komitmen memiliki loading faktor yang tinggi dan rata-rata yang tinggi. Perilaku pencegahan penulaan TB Paru sebagian besar dikategorikan sangat tinggi sebesar 41 persen, skor minimum = 30; maksimum = 105; mode= 77; mean = 77,65; median= 81, dan range = 75. Hal ini menunjukkan bahwa kepala keluarga sebagian besar memiliki skor lebih rendah dari rata-rata hanya sebagian kecil yang mempunyai skor tinggi. Hasil analisis pengukuran loading factor indikator pencegahan primer sebesar = 0,90; pencegahan sekunder sebesar = 0,95; dan pencegahan tersier sebesar = 0,99, dan rata-rata sebesar 77,65 > 67,5. Hal ini berarti semua indikator (pencegshsn primer, sekunder, dan tersier) dari perilaku pencegahan memiliki loading faktor yang tinggi dan rata-rata yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil observasi pada indikator ini adalah sangat bervariatif atau tidak merata yang artinya ada responden yang memiliki nilai sangat tinggi dan sebagian responden lainnya memiliki nilai sangat rendah. <br>Semua indikator yang ditetapkan masing-masing variabel laten yang meliputi (1) adaption, partnership, growth, affection dan resolve merupakan indikator yang ditentukan fungsi keluarga (2) pengetahuan, harapan, dan pengalaman adalah indikator yang ditentukan persepsi ancaman penyakit (3) dukungan emosional, informasi, dan instrumen merupakan indikator yang ditentukan dukungan keluarga (4) niat, daya tanggap, dan tanggung jawab adalah indikator yang ditentukan komitmen aksi (5) pencegahan primer, sekunder, dan tersier merupakan indikator perilaku pencegahan penularan TB paru, (6) ada hubungan langsung antara fungsi keluarga dengan persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru, (7) ada hubungan langsung antara fungsi keluarga dengan dukungan keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru., (8) ada hubungan langsung antara fungsi keluarga dengan komitmen aksi dalam pencegahan penularan TB Paru, (9) ada hubungan langsung antara persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan dukungan keluarga dalam pencegahan penularan TB Paru, (10) ada hubungan langsung antara persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan komitmen aksi dalam pencegahan penularan TB Paru, (11) ada hubungan langsung antara dukungan keluarga dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru., (12) ada hubungan langsung antara komitmen aksi dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru, (13) tidak ada hubungan langsung persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru. Ada hubungan antara persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru jika dimediasi dukungan keluarga, dan (14) tidak ada hubungan langsung persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru. Ada hubungan antara persepsi ancaman penularan penyakit TB Paru dengan perilaku pencegahan penularan TB Paru jika dimediasi komitmen aksi dalam pencegahan penularan TB Paru.<br>Kesimpulan. Fungsi keluarga dapat menjelaskan indikator adaption, partnership, growth, affection dan resolve; persepsi ancaman penyakit dapat menjelaskan indikator pengetahuan, harapan, dan pengalaman; dukungan keluarga dapat menjelaskan indikator dukungan emosional, informasi, dan instrumen; komitmen aksi dapat menjelaskan indikator niat, daya tanggap, dan tanggung jawab; perilaku pencegahan penularan TB paru dapat menjelaskan indikator pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Persepsi, dukungan keluarga, dan komitmen rencana aksi pencegahan penularan TB Paru merupakan determinan penting yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perilaku pencegahan penularan TB Paru. Saran. Perlunya model promosi kesehatan pada kepala keluarga dan pasien yang mengidap TB Paru tentang peran anggota keluarga, fungsi keluarga, dan komitmen aksi dalam pencegahan penularan TB Paru.</p><p><strong>Kata kunci</strong>: fungsi keluarga, persepsi ancaman, dukungan keluarga, komitmen aksi, perilaku pencegahan, TB paru</p><p>Martono. T642008008. Family Health Behavior Model Based on Integrated Behavior Concepts (IBC) to Improve Prevention of Pulmonary TB. Promoter: Prof. Dr. Muhammad Akhyar, MPd; Co-Promoter I: Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., MPd; Co-Promoter II: Dr. Anik Lestari, dr., MKes. Development Extension/Community Empowerment Study Program, Post Gradual School Universitas Sebelas Maret Surakarta.</p><p><strong>SUMMARY</strong><br>Introduction. One form of health emergency that is widespread in society and is deadly is pulmonary tuberculosis (TB). WHO reports that globally, it is estimated that 10 million people in the world suffer from pulmonary TB, with a distribution of 5.6 million men, 3.2 million women, 1.2 million children, and 1.4 million people dying from it. Pulmonary TB. In Indonesia, pulmonary TB is one of the priority problems that must be addressed and has the third highest burden in the world. The incidence of tuberculosis in Indonesia in 2021 is 385,295 per 100,000 population, or 845,000, and the death rate for tuberculosis sufferers is 40 per 100,000 population, or 98,000, equivalent to 11 deaths per hour. Central Java Province has the third highest number of pulmonary TB cases in Indonesia based on its large population after West Java and East Java, with an incidence in 2021 of 42,095 per 100,000 population. The success of tuberculosis treatment was 85.1 percent and had not yet reached the target of the strategic plan launched by WHO, namely >90 percent. Pulmonary TB cases in the city of Surakarta are the third highest contributor of the five major cities and districts in Central Java, at 231.1 people per 100,000 population, after Tegal Regency at 716.5 people and Magelang at 528.7 people, followed by Salatiga at 207.7 people and Banyumas at 198.9 people. The city of Surakarta has had the highest fluctuating trend in the development of pulmonary TB case coverage in the last three years of the six districts or cities in the Solo Raya region, consisting of Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, and Klaten.<br>The impact of pulmonary TB transmission can affect an individual&#39;s health or physiological condition and other aspects of life, including mental health problems and financial, physical, and social burdens. TB is associated with lower body weight, body mass index, and life expectancy; reduced expiratory flow time; and a higher exhaled nitric oxide fraction. The contagious nature and prolonged therapy of TB have an impact on social, physical, and mental stress, as well as the poor quality of health of TB patients. Tuberculosis and its treatment have a significant impact on social, mental, and emotional functioning and aspects of the patient&#39;s quality of life. Latent tuberculosis infection has an impact on worse mental health, namely fear and anxiety.<br>Indonesia has committed to reducing the incidence of tuberculosis cases to 65 per 100,000 people by 2030. The national strategy for controlling pulmonary TB in Indonesia is being implemented to achieve the target of reducing the incidence of pulmonary TB from 319 per 100,000 population in 2017 to 190 per 100,000 population in 2024 and reducing the death rate due to pulmonary TB from 42 per 100,000 population in 2017 to 37 per 100,000 population in 2024. To provide health insurance to the community, pulmonary TB control and prevention programs have become the policy direction of the Indonesian government. This policy is directed at accelerating Indonesia&#39;s efforts to achieve the elimination of tuberculosis by 2035 as well as ending the tuberculosis epidemic by 2050. Central Java Province is also committed to preventing the transmission of pulmonary TB. One form of this commitment is allocating a health budget in 2021, reaching IDR 15,038,500,260,780.30.<br>The Surakarta city government is also committed to preventing the transmission of pulmonary TB. One form of commitment is to allocate a health budget in 2021 of up to IDR. 255.864.220.253. However, the health budget is still largely focused on curative and rehabilitative efforts. Meanwhile, financing for promotional and preventive efforts is not yet significant. So far, the efforts made by the city government to overcome health problems in the community are still oriented towards curing disease, which means that what is being done does not optimally involve community members. This is certainly a challenge for the government to be able to change perceptions from a "sick paradigm" to a "healthy paradigm." Apart from that, the cause of the not optimal prevention of pulmonary TB transmission in Surakarta City is that this area is the most densely populated district or city in Central Java, with 12,802 people per km2 and an area of 44.04 km2, and an increase in population density of 12,767 people per km2. This condition increases the risk of transmission of pulmonary TB at the community level. The diverse characteristics of the population in Surakarta City also influence the success of implementing programs to prevent pulmonary TB transmission. Factors causing failure to control and prevent transmission of pulmonary TB include individual factors, namely marital status, knowledge, level of education, stigmatization, lack of knowledge, long distance to health facilities, treatment categories and drug side effects, loss of household income, and members&#39; wrong beliefs. community about the concept of pulmonary TB. So far, the efforts made by the community to prevent pulmonary TB in Surakarta City are generally still oriented towards curing the disease. The results of the field study showed that as a result of interviews with 85 heads of families of pulmonary TB sufferers conducted in mid-April 2021 in the Surakarta Community Health Center Work Area, information was obtained that there were still wrong perceptions (3.2 percent thought that pulmonary TB was difficult to cure), lack of knowledge (2 .15 percent stigmatization about pulmonary TB being an inherited disease), low support from family members (12.6 percent stopped taking TB medication because the family did not supervise it), low family commitment (22.1 percent non-compliance by family members in implementing health protocols: wearing a mask, washing hands, and maintaining distance when in direct contact with pulmonary TB sufferers), risky behavior (17.9 percent do not know the behavioral risk factors that trigger TB transmission, 23.2 percent throw phlegm anywhere and do not cover their mouth when coughing) 7.4 percent said they were bored with taking medication because of the long duration of treatment, and the remaining 11.6 percent were absent from regular check-ups with health services. This health behavior has the potential to contribute to the birth of new clusters of pulmonary TB transmission at the family level. The conditions described above indicate the need for preventive efforts and good cooperation between the involvement of families, health workers, cadres or health institutions, and pulmonary TB sufferers to maximize behavior to prevent transmission of pulmonary TB. The family function has a very important role in providing care or health maintenance for members suffering from pulmonary TB.<br>Problems in implementing programs to prevent and control the transmission of pulmonary TB in Indonesia. The achievements of the pulmonary tuberculosis (P2TB) control program at community health centers (puskesmas) in Indonesia have not yet reached the national target. The results of the evaluation of the tuberculosis control program in Indonesia are still not appropriate and not effective. The successful coverage of pulmonary TB treatment in Central Java is 83.5 percent, but still has not reached the set target. Obstacles that hinder the control and prevention of pulmonary TB are incomplete reporting and recording systems, limited and inefficient program funding, not yet optimal contributions from health workers, low commitment from the government and low involvement of community members, implementation of prevention program pillars. and infection control (PPI) is not running optimally and is not in accordance with standards, there is a lack of human resources (HR) for nurses as the spearhead of manual disability, there is no funding for a program for recording and reporting pulmonary TB, and the hospital management information system &#40;SIMRS&#41; is not yet integrated. ) to all service units, and internal networks are not running well. It was further explained that efforts that can be made to make it run well are increasing the commitment of hospital management.<br>In line with the problems, obstacles, and conditions described above, it is very important to pay more serious attention to changes in health behavior to prevent transmission of pulmonary TB at the family level. To enable families to live healthy lives and prevent the birth of new clusters of pulmonary TB transmission, it is necessary to make family members aware of the importance of family functions, family support, perceptions of disease threats, and changes in health behavior. Family-centered prevention of TB transmission through the implementation of effective health behavior regimens is one way to minimize the birth of new clusters of pulmonary TB transmission. For this reason, it is deemed necessary to have an effective model to predict action commitment and behavior to prevent pulmonary TB transmission in the Surakarta Community Health Center Work Area. Factors that influence family behavior in preventing the transmission of pulmonary TB are studied in the behavioral change model theory. A study of the application of HBM theory has demonstrated its practicality and effectiveness in providing an understanding of the determinants of preventive behavior. These theoretical constructs can be used as a guide to developing and predicting preventive behavior change. The theory of planned behavior (TPB) model is another theoretical framework that can also be used to answer various research gaps related to preventive behavior from a health perspective. This model assumes that behavioral intentions determine behavior directly. The family health promotion model (FHPM) is a theoretical model that involves families in promoting health behavior. This health promotion model can be used to address various research gaps related to family health behavior from the perspective of family health capabilities.<br>However, there are still few studies that investigate and develop a combined theoretical framework or combination of predictors from FHPM, HBM, and TPB, which include family functioning, family support, perceived threat of illness, commitment, and changes in health behavior. The reason for modifying the three model theories is that there are several predictors from the model theory that can predict commitment to action and behavior to prevent transmission of pulmonary TB. Given the complexity of factors that influence family function, family support, perception of disease threat, and behavior to prevent pulmonary TB transmission, it is very interesting to formulate a model by combining predictors from these three.<br>Research methods. This research used a quantitative descriptive design with a cross-sectional survey of 210 heads of families of pulmonary TB sufferers in 17 working areas of the Surakarta City Government Health Service. Proportional random sampling technique with representation at each Community Health Center. Data were collected using a questionnaire with a 5-point Likert scale whose content validity was verified by 12 experts, then tested using Aiken&#39;s V with criteria with a value range of 0.60–1.00 and correlation coefficients (ICC) with a value range of 0≤ICC≤1.00. The results of the validity test of all latent variables were declared valid, with a value range of 0.60-0.80, and all latent variables showed reliability with a value range of 0 ≤ ICC ≤ 1. Lisrel SEM was carried out to determine assumption tests (outliers, normality, and multicollinearity), confirmatory factor analysis, goodness of fit model, path model, and test the relationship between a combination of predictors from HBM, TPB, and FHPM consisting of family function, family support, perception of disease threat, commitment, and behavior.<br>Research result. The results of the descriptive analysis in this study found that of the 210 heads of families of pulmonary TB patients, the distribution of family function was mostly categorized as very good at 34.8 percent with a minimum value of 27, a maximum of 96; mode = 70; mean = 68.78 (mode > mean); range = 69. The results of the analysis of the loading factor measurement of the adaptation indicator were: 0.98 > 0.70; partnership of 1.01 > 0.70; growth of 0.90 > 0.70; affection of 0.94 > 0.70; resolve of 0.90 > 0.70; and the average of 68.78 > 61.5. Thus, all indicators of family functioning (adaptation, partnership growth, affection, and resolve) have high factor loadings and higher averages. The distribution of perceptions about the threat of pulmonary TB disease is mostly categorized as very high at 27.6 percent: minimum value = 27, maximum = 96; mean = 68.78; mode = 70; mean = 68.78; median = 70; and range = 69. The results of the analysis of the loading factor measurement of the knowledge indicator were = 0.96; hope of = 0.97; and experience = 0.88, and the average is 68.78 > 61.5. Thus, all indicators (knowledge, experience, and hope) of perceptions about pulmonary TB transmission have high factor loadings and high averages. Family support is mostly categorized as very high at 29 percent; minimum score = 28; maximum = 97; mode = 66; mean = 67.56; median = 70; and range = 69. The results of the analysis of the emotional indicator loading factor measurement were = 0.96; information = 0.96; and the instrument is = 0.93, and the average is 67.56 > 62.5. Thus, all indicators (emotional support, information, and instruments) of family support have high factor loadings and high averages. Action commitment is mostly categorized as very high at 23.3 percent: minimum score = 29; maximum = 99; mode = 74; mean = 70; median = 74; and range = 70. The mode of the indicators of intention, responsiveness, and responsibility has a value greater than the average. The results of the analysis of the loading factor measurement of the intention indicator were = 0.87; responsiveness = 0.87; and responsibility = 0.97, and the average is 70 > 64. This means that all indicators (intention, responsiveness, and responsibility) of commitment have high factor loadings and a high average. The majority of lung TB aging prevention behavior is categorized as very high at 41 percent: minimum score = 30; maximum = 105; mode = 77; mean = 77.65; median = 81; and range = 75. This shows that most heads of families have scores lower than average; only a small percentage have high scores. The results of the analysis of the loading factor measurement of primary prevention indicators were = 0.90; secondary prevention = 0.95; and tertiary prevention = 0.99, and the average is 77.65 > 67.5. This means that all indicators (primary, secondary, and tertiary prevention) of prevention behavior have high factor loadings and high averages. This shows that the observation results on this indicator are very varied or uneven, which means that there are respondents who have very high scores and some other respondents have very low scores.<br>All indicators determined by each latent variable, which include (1) adaptation, partnership, growth, affection, and resolve, are indicators determined by family function. (2) Knowledge, hope, and experience are indicators determined by the perception of the threat of disease. (3) Emotional support, information, and instruments are indicators determined by family support. (4) Intention, responsiveness, and responsibility are indicators determined by commitment to action. (5) Primary, secondary, and tertiary prevention are behavioral indicators for preventing the transmission of pulmonary TB. (6) There is a direct relationship between family function and the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease. (7) There is a direct relationship between family function and family support in preventing the transmission of pulmonary TB. (8) There is a direct relationship between family function and commitment to action in preventing the transmission of pulmonary TB. (9) There is a direct relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease and family support in preventing transmission of pulmonary TB disease. (10) There is a direct relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease and commitment to action in preventing transmission of pulmonary TB disease. (11) There is a direct relationship between family support and behavior to prevent transmission of pulmonary TB; (12) There is a direct relationship between commitment to action and behavior to prevent transmission of pulmonary TB. (13) There is no direct relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB and behavior to prevent transmission of pulmonary TB. There is a relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease and behavior to prevent transmission of pulmonary TB disease if mediated by family support, and (14) there is no direct relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease and behavior to prevent transmission of pulmonary TB disease. There is a relationship between the perception of the threat of transmission of pulmonary TB disease and behavior to prevent transmission of pulmonary TB if it is mediated by a commitment to action in preventing transmission of pulmonary TB.<br>Conclusion. Family function can explain indicators of adaptation, partnership, growth, affection, and resolve; disease threat perceptions can explain indicators of knowledge, hope, and experience; family support can explain indicators of emotional, informational, and instrumental support; action commitment can explain indicators of intention, responsiveness, and responsibility; and behavior to prevent pulmonary TB transmission can explain primary, secondary, and tertiary prevention indicators. Perception, family support, and commitment to action plans to prevent transmission of pulmonary TB are important determinants that have a direct and indirect influence on behavior to prevent transmission of pulmonary TB. Suggestion. There is a need for a health promotion model for heads of families and patients suffering from pulmonary TB regarding the role of family members, family functions, and commitment to action in preventing the transmission of pulmonary TB.</p><p><strong>Keywords</strong>: family function, threat perception, family support, action commitment, prevention behavior, pulmonary TB.</p>
×
Penulis Utama : Martono
Penulis Tambahan : -
NIM / NIP : T642008008
Tahun : 2024
Judul : Model Perilaku Kesehatan Keluarga Berbasis Integrated Behavior Concepts Untuk Meningkatkan Pencegahan Penularan Tuberkulosis
Edisi :
Imprint : Surakarta - Sekolah Pascasarjana - 2024
Program Studi : S-3 Penyuluhan Pembangunan (Promosi Kesehatan)
Kolasi :
Sumber :
Kata Kunci : family function, threat perception, family support, action commitment, prevention behavior, pulmonary TB.
Jenis Dokumen : Disertasi
ISSN :
ISBN :
Link DOI / Jurnal : http://DOI: 10.26355/eurrev_202312_34778
Status : Public
Pembimbing : 1. Prof. Dr. Muhammad Akhyar, M.Pd.
2. Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., M.Pd.
3. Dr. Anik Lestari, dr., M.Kes.
Penguji : 1. Prof. Dr. sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P., IPM., ASEAN Eng.
2. Dr. Ir. Retno Setyowati, MS.
3. Dr. Hanung Prasetya, SKp., SPsi., M.Si.
Catatan Umum :
Fakultas : Sekolah Pascasarjana
×
Halaman Awal : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
Halaman Cover : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB I : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB II : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB III : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB IV : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB V : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
BAB Tambahan : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
Daftar Pustaka : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.
Lampiran : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.