×
Single mother dihadapkan pada kedukaan dan kesulitan hidup pascakematian pasangan. Hal tersebut mengarahkan pada kepentingan untuk menelusuri kemampuan single mother untuk bisa bangkit dari kedukaan dan kesulitan hidup yang dihadapi pascakematian pasangan sehingga dapat berperan menjadi orang tua tunggal dengan lebih sehat dan efektif, kemampuan ini disebut resiliensi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan resiliensi single mother pascakematian pasangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif terhadap tiga single mother yang berstatus cerai mati, memiliki pekerjaan, dan memiliki anak yang masih harus diasuh. Data diperoleh melalui angket, wawancara, dan observasi. Data dianalisis menggunakan teknik analisis data model Miles dan Huberman melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Uji kredibilitas data menggunakan triangulasi metode. Hasil penelitian menemukan lima fase pembentukan kemampuan resiliensi single mother pascakematian pasangan, yaitu fase kedukaan, fase penerimaan, fase penyesuaian, fase kemandirian, dan fase berkembang. Penyangkalan dan kesedihan menjadi faktor risiko yang dihadapai single mother pada fase kedukaan. Terdapat aspek emotion regulation, impulse control, empathy, dan self efficacy serta religiusitas dan dukungan sosial sebagai faktor protektif untuk mengatasi dampak kedukaan pada fase penerimaan. Terdapat aspek causal analysis dan empathy serta dukungan sosial sebagai faktor protektif untuk mengatasi stigma masyarakat, masalah finansial, masalah kesehatan, dan masalah rumah yang menjadi faktor risiko pada fase penyesuaian. Terdapat aspek self efficacy dan dukungan sosial sebagai faktor protektif untuk mengatasi masalah sehari-hari yang menjadi faktor risiko pada fase kemandirian. Terdapat aspek reaching out dan optimism yang menjadi kunci bagi single mother untuk bisa resilien pascakematian pasangan pada fase berkembang.