Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menganalisis kelemahan pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha jasa penerbangan terhadap perlindungan konsumen dalam hukum positif di Indonesia serta menganalisis secara mendalam guna menemukan rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha jasa penerbangan terhadap perlindungan konsumen berbasis kepastian hukum yang adil.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang berbentuk preskriptif, dengan pendekatan undang-undang, kasus, konseptual dan perbandingan. Kajian perbandingan hukum dilakukan dengan Amerika, Australia, Malaysia dan Singapura. Bahan hukum dianalisis dengan alur berfikir atau silogisme deduktif, dengan premis mayor Filsafat Pancasila dan Teori Negara Kesejahteraan (utility) dari Bentham, Teori Keadilan dari John Rawls dan Teori “efektivitas aturan secara normatif” dari Lon Fuller, dengan premis minor berupa norma dan fakta-fakta hukum terkait pertanggungjawaban pelaku usaha jasa penerbangan di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelemahan regulasi dan relasi dalam pertanggungjawaban pelaku usaha. Norma pertanggungjawaban dalam UUPK sebagai lex specialist perlindungan konsumen multitafsir, tidak memisahkan terminologi produsen barang dengan penyedia jasa (Pasal 19). Terdapat norma yang kontradiktif dalam Pasal 54 dengan 56 UUPK, sehingga tidak dapat dilaksanakan. Masalah relasi, maskapai juga tidak sendirian, ada travel agent dan pengelola bandar udara dalam pertanggungjawaban terhadap konsumen. Konsekuensi Indonesia menganut paham negara kesejahteraan adalah memiliki kewajiban melindungi masyarakat yang menjadi konsumen agar tecipta keadilan bagi pihak yang lemah. Dengan landasan filosofis Pancasila terutama Sila Kedua, Keempat dan Kelima serta Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 33 Ayat 4, politik hukum perlindungan konsumen juga diarahkan pada perwujudan pelindungan negara. Rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pelaku usaha jasa penerbangan terhadap perlindungan konsumen berbasis kepastian hukum yang adil dapat dilakukan dengan: rekonstruksi substansi pengaturan pertanggungjawaban yang multitafsir, kontradiktif dan tidak dapat dilaksanakan. Membedakan konsep barang dan jasa, mendikotomi pelaku usaha barang dengan peyedia jasa. Demikian juga dengan klausula baku yang potensial menimbulkan kesewenang-wenangan. Struktur kelembagaan BPSK dan BPKN yang selama ini belum optimal harus diperjelas tugas dan kewenangannya. Harmonisasi UUPK dengan UU Sektoral seyogyanya segera dilaksanakan. Budaya hukum masyarakat yang suka menyelesaikan permasalahan secara musyawarah tetapi tidak memiliki waktu, dapat dilakukan dengan ODR (Online Dispute Resolution).