Penelitian ini mendeskripsikan dan mengkaji permasalahan, Pertama, bagaimana prinsip lex talionis dalam putusan yang menjatuhkan tindakan kebiri kimia kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Kedua, kontroversi hukum dan sosial atas pemberlakuan putusan tindakan kebiri kimia pada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam sistem hukum pidana. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Jenis bahan hukum meliputi bahan hukum primer, sekunder dan non-hukum. Teknik pengumpulan dengan studi kepustakaan dan hasil wawancara. Pengumpulan bahan hukum berupa putusan-putusan pengadilan, diantaranya Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto Nomor: 69/Pid.Sus/2019/PN.MJK; Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 858/Pid.Sus/2022/PN.Bjm; dan Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 5/Pid.Sus/2022/PN.Bjm. Teknik analisis dengan metode silogisme menggunakan pola pemikiran deduktif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip lex talionis atau hukum pembalasan setimpal, merupakan konsep hukum pidana kuno yang ditemukan dalam Hukum Hammurabi, Kitab Keluaran 21:22-25, dan Q.S. Al-Maidah: 44-47. Prinsip ini menekankan keadilan dengan hukuman yang sebanding dengan kejahatan, berfungsi sebagai pembalasan serta efek jera bagi individu dan masyarakat. Namun, kebiri kimia menghadapi kendala, termasuk penolakan dari pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) karena bertentangan dengan kode etik medis. Pendukungnya menilai hukuman ini dapat memberi keadilan dan mencegah residivisme, sementara penentangnya menilai dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak menyentuh akar masalah kejahatan seksual.