Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 21 Tahun 2020 sebagai pedoman dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Namun, peraturan tersebut belum sepenuhnya efektif dalam pelaksanaannya di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas mediasi dalam penyelesaian kasus pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Surakarta serta mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan mediasi tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan empiris melalui wawancara dengan pihak terkait, yakni seksi pengendalian dan penanganan sengketa serta mediator di Kantor Pertanahan Kota Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, mediasi di Kantor Pertanahan Kota Surakarta belum efektif dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Meskipun prosedur telah jelas diatur, mediasi sering kali terhambat oleh berbagai faktor, antara lain sikap tidak kooperatif dari para pihak yang bersengketa, keterbatasan fasilitas, kurangnya kemampuan mediator dan ketegangan emosional yang menghalangi tercapainya kesepakatan. Sehingga mediasi yang seharusnya menjadi opsi yang efisien waktu dan biaya justru mengarah pada pemborosan waktu dan biaya yang lebih besar ketika sengketa harus dilanjutkan ke jalur litigasi. Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan mediasi diantaranya yaitu stratifikasi sosial, di mana pihak yang memiliki kekuasaan atau sumber daya lebih besar mendominasi mediasi, serta budaya masyarakat yang lebih mempercayai jalur litigasi. Selain itu, faktor kontrol sosial juga berperan, karena perbedaan status sosial membuat tercapainya kesepakatan menjadi sulit. Keterbatasan jumlah dan keterampilan mediator, fasilitas yang tidak memadai, serta kompleksitas sengketa pertanahan, seperti masalah dokumen yang tidak valid, juga turut menghambat pelaksanaan mediasi.