Kerajaan Arab Saudi menjadi salah satu destinasi utama bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), didorong oleh insentif ekonomi dan motivasi keagamaan, seperti menunaikan ibadah umroh dan haji. Namun, maraknya pelanggaran keamanan dan kondisi kerja yang eksploitatif (diklasifikasikan sebagai Dirty, Dangerous, and Degrading, atau 3D) mendorong Pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium atau penghentian pengiriman pekerja migran Indonesia ke Arab Saudi pada tahun 2015. Meskipun kebijakan ini diberlakukan, penempatan ilegal masih terus terjadi mengindikasikan adanya diskrepansi dalam mekanisme penegakan hukum dan perlindungan. Studi ini menyelidiki faktor-faktor yang mendasari ketidakefektifan kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia, dengan menganalisis tantangan institusional dan peraturan di kedua belah pihak, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif eksplanatif, penelitian ini menggunakan konsep rezim internasional, Responsibility to Protect (R2P), dan logika kesesuaian sebagai kerangka analisisnya. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya kekurangan yang kritis, termasuk keterbatasan peran dan keterlambatan respon kebijakan-seperti keterlambatan adopsi Sistem Penempatan Satu Kanal dan pembentukan Satgas TKI Ilegal-yang mencerminkan ketidaksesuaian kelembagaan dengan standar ketenagakerjaan internasional. Secara de jure, Pemerintah Indonesia telah berhasil mengadopsi beberapa konvensi dan standar-standar internasional yang telah diratifikasi. Namun secara de facto, terdapat inkonsistensi implementasi kebijakan pelindungan PMI terhadap komitmen Indonesia , seperti ratifikasi 20 Konvensi ILO. Studi ini menyimpulkan bahwa perlindungan pekerja migran yang efektif membutuhkan koherensi kelembagaan yang lebih kuat, mekanisme penegakan hukum yang proaktif, dan komitmen untuk menyelaraskan kebijakan dalam negeri dengan standar ketenagakerjaan internasional.