×
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana direksi dapat dimintai
pertanggungjawaban dalam kasus forced delisting pada perusahaan berdasarkan
prinsip piercing the corporate veil. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal, bersifat
preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan bahan hukum
primer dan sekunder penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis bahan hukum yang bersifat deduktif dengan metode
silogisme.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa piercing the corporate veil
dalam ilmu hukum perusahaan merupakan doktrin yang memungkinkan penuntutan
tanggung jawab pribadi atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan.
Prinsip ini diakui dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang memperluas cakupannya tidak hanya pada tindakan yang ada dalam
Pasal 3 ayat (2), tetapi juga mencakup seluruh perbuatan hukum yang tidak selaras
dengan maksud dan tujuan perseroan, baik oleh pemegang saham, direksi, maupun
dewan komisaris.
Dalam kasus PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN), forced
delisting terjadi akibat pelanggaran keterlambatan penyerahan laporan keuangan
dan kurangnya transparansi perseroan. Direksi gagal menjalankan kewajibannya
dengan itikad baik, sementara dewan komisaris lalai dalam menjalankan fungsi
pengawasan. Akibatnya, prinsip piercing the corporate veil dapat diterapkan untuk
menuntut pertanggungjawaban pribadi direksi dan dewan komisaris hingga ke harta
pribadi atas kerugian yang ditimbulkannya.