Hak dan kebebasan berekspresi merupakan hak dasar setiap individu, termasuk komunitas queer. Hal ini untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil, sebagaimana yang tercatat dalam Yogyakarta Principles (2006), dokumen internasional yang menegaskan hak asasi manusia bagi individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang beragam, serta menyoroti pentingnya penghapusan diskriminasi. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan penggunaan pronouns sebagai representasi identitas dan ekspresi gender komunitas queer di Yogyakarta serta menggambarkan peran penggunaan pronouns dalam membangun inklusivitas sosial bagi komunitas queer di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis fenomenologi dan analisis teori Dekonstruksi Derrida yang mengungkap ketidakstabilan makna penggunaan pronouns. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipan, dan dokumentasi yang kemudian validitasnya diuji menggunakan triangulasi sumber agar kemudian dapat ditarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pronouns tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga berfungsi sebagai simbol validasi diri, fleksibilitas ekspresi, dan identitas gender. Pronouns seperti they/them dan kombinasi lain mencerminkan keragaman identitas yang ada di luar biner, meskipun penggunaan kata ganti seperti "mas" dan "mbak" dalam budaya Jawa menghadirkan tantangan linguistik. Penerimaan penggunaan pronouns di luar komunitas queer cenderung bervariasi, dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, generasi, dan paparan terhadap isu gender. Penelitian ini menegaskan bahwa pronouns memainkan peran penting sebagai komunikator, fasilitator, advisor tidak langsung, hingga barrier dan resistor, baik di dalam komunitas queer maupun masyarakat luas.