Ekspor bijih nikel mentah yang dilakukan Indonesia pada dasarnya memiliki nilai tambah rendah dan kurang menguntungkan secara ekonomi, meski Indonesia memiliki cadangan bijih nikel salah satu yang terbesar di dunia. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah, Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan hilirisasi dengan mewajibkan pengolahan bijih nikel sebelum diekspor sehingga menghasilkan produk olahan yang memiliki nilai tambah (value-added), seperti besi dan baja (kode harmonized system 72). Melihat China sebagai mitra perdagangan utama di sektor ini, maka penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana pengaruh kebijakan hilirisasi nikel terhadap ekspor besi dan baja Indonesia ke China selama periode 2014–2024. Penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran (mixed methods) dengan mengikuti desain explanatory sequential design (two-phase design) menurut John W. Creswell. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah Multiple Streams Framework oleh John W. Kingdon dan konsep kerja sama internasional dari hasil studi Helen Milner untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi dampak kebijakan hilirisasi nikel dalam konteks ekspor besi dan baja ke China. Hasil analisis menunjukkan bahwa ekspor bijih nikel menurun, sedangkan ekspor feronikel, investasi China di sektor pengolahan nikel, serta jumlah smelter nikel di Indonesia meningkat setelah implementasi hilirisasi pada tahun 2020-2024. Kebijakan hilirisasi nikel juga memperkuat kerja sama ekonomi Indonesia dan China. Namun, pengaruh seluruh indikator hilirisasi tersebut terhadap total perdagangan Indonesia-China masih terbatas. Temuan ini menegaskan bahwa hilirisasi nikel telah mengubah struktur ekspor Indonesia ke China, meski kontribusinya terhadap nilai perdagangan bilateral secara keseluruhan masih relatif kecil dibandingkan sektor lain. Perubahan tersebut didorong oleh masalah, solusi kebijakan yang paling layak, kompromi politik, dan kepentingan antara kedua negara.