| Penulis Utama | : | Erna Suminar |
| NIM / NIP | : | T201808004 |
Faotkanaf oekanaf merupakan terminologi lokal di Timor Tengah Utara yang memiliki korelasi dengan hutan keramat. Lokasi sakral tersebut merupakan penanda identitas dan sejarah setiap marga suku Atoni Pah Meto yang memiliki nilai istimewa dalam hirarki ekologis. Meskipun dijaga melalui ritual-ritual sakral, mitos dan tabu, hutan keramat terus mengalami ancaman desakralisasi dan degradasi lingkungan. Perubahan sosial budaya, sosio-ekonomi dan teknologi informasi menyebabkan dinamika identitas yang terjadi pada masyarakat adat, tak terkecuali pada marga Tefa. Dinamika tersebut berpengaruh kepada pergeseran identitas, sehingga merubah perspektif, pemahaman dan pendekatan terhadap hutan keramat. Dalam perspektif komunikasi lingkungan, identitas baik personal atau pun kolektif, memengaruhi cara individu memahami, mengkomunikasikan, dan menerima pesan yang menjalin dengan lingkungan. Selain itu, gagasan pemerintah yang hendak merubah kawasan Gunung Mutis menjadi Taman Nasional (TN) dan Taman Wisata Alam (TWA) membawa kompleksitas masalah untuk mempertahankan keberadaan hutan keramat yang tersebar di dalam kawasan Gunung Mutis dan di kaki gunung, termasuk yang dimiliki marga Tefa. Penelitian ini berupaya untuk menemukan kebaruan yang menjalin dengan studi identitas dan adaptasi interaksi pemuka adat dan masyarakat adat dalam perspektif komunikasi lingkungan. Melalui pendekatan Teori Komunikasi Identitas (CTI), penelitian ini memahami peran identitas pemuka adat dan masyarakat adat dalam memelihara warisan budaya tersebut. Saat identitas diberlakukan, bagaimana kesenjangan identitas terungkap, serta bagaimana mereka kemudian melakukan adaptasi, khususnya yang menjalin dengan pemeliharaan lingkungan yang dikeramatkan melalui ritual sakral. Beberapa penelitian mengenai komunikasi lingkungan belum banyak yang mendalami secara tegas hubungan antara identitas dan perubahannya dalam pendekatan kepada lingkungan dalam perspektif komunikasi. Sehingga penelitian ini dapat mengisi celah penelitian mengenai titik temu antara identitas, adaptasi interaksi dan komunikasi lingkungan dalam konteks budaya. Lebih lanjut, kajian adaptasi interaksi belum banyak digunakan dalam perspektif pendekatan terhadap pemeliharaan lingkungan dengan pendekatan Teori Adaptasi Interaksi (IAT). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan proses adaptasi interaksi dalam pemeliharaan faotkanaf oekanaf melalui ritual yang dilakukan pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa dengan memfokuskan pada : 1) identitas komunikasi marga Tefa pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa dalam ritual sakral untuk pemeliharaan faotkanaf oekanaf. 2) kesenjangan identitas pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa dalam ritual sakral untuk pemeliharaan faotkanaf oekanaf. 3) adaptasi interaksi pemuka adat dan masyarakat adat Tefa dalam ritual sakral untuk pemeliharaan faotkanaf oekanaf. Penelitian ini menggunakan etnografi komunikasi Carbaugh, dengan menyoroti jalinan identitas, budaya dan lingkungan dan proses adaptasi pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan fenomena yang hendak dikaji, sumber daya data yang cukup, keunikan pendekatan terhadap lingkungan yang sesuai dengan tujuan riset, yaitu di Desa Noepesu, Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara. Meskipun lokus riset ini berbasis di Desa Noepesu, ada di antara informan yang tinggal di sekitar wilayah Timor Tengah Utara, namun mereka berasal dari Noepesu dan mereka berupaya tetap kembali untuk melaksanakan ritual sebagai tanggung jawab moral pewaris faotkanaf oekanaf. Untuk memahami bagaimana marga Tefa memelihara faotkanaf oekanaf dan mendekati valid, penelitian ini mengambil 3 (tiga) orang pemuka adat marga Tefa dan 7 (tujuh) orang masyarakat adat melalui snowball sampling technique dan purposive sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan dan pencatatan serta dokumentasi dengan hati-hati. Studi pendahuluan untuk memilih wilayah penelitian dilakukan pada Agustus 2018. Tahun 2019 memulai penelitian dan mengurus perizinan sebagai standar etika penelitian. Penelitian berakhir pada bulan Maret 2023, melalui beberapa kali kunjungan dan tinggal di wilayah riset dan hidup bersama penduduk asli, dan melibatkan diri dan mengikuti kehidupan keseharian masyarakat secara langsung. Untuk keabsahan data dilakukan validasi data dengan menggunakan triangulasi sumber data dan member checking, reabilitas penelitian serta auditing, yaitu pemeriksaan seluruh data. Teknik dilakukan dengan melakukan cara untuk menemukan hubungan antar komponen komunikasi sehingga pola komunikasi terlihat dan analisis pada komponen kompetensi komunikasi. Dalam proses analisis data berlangsung serentak berjalan bersamaan dengan pengumpulan data. Data diringkas, dipilih dan diterjemahkan, kemudian selanjutnya mengorganisasikan data. Secara umum, teknik analisis data dilakukan dengan analisis deskripsi, analisis interpretatif dan analisis komparatif. Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa mengalami dinamika identitas setelah mengalami perubahan sosial budaya, sosial-ekonomi, dan hidup di era teknologi informasi sehingga merubah cara komunikasi ketika komunikasi diterapkan. Perubahan identitas pada marga Tefa tercermin dalam perubahan cara pandang dan pendekatan terhadap ritual dan cara memaknai ritual dan situs sakral (personal layer) tersebut menyebabkan kesenjangan identitas. Tampilan perilaku, Tampilan pakaian dan tampilan keahlian berubah seiring perkembangan sosial budaya dan teknologi informasi di mana masyarakat adat tampil semakin modern dan menerima pengetahuan dan pengalaman baru (enactment identity). Masyarakat adat memperluas hubungan sosial mereka ke dalam kerangka yang lebih luas hingga menyentuh politik lingkungan untuk melindungi hutan keramat (relational identity). Membangun kesadaran bersama dalam ritual dan bahwa faotkanaf oekanaf merupakan identitas kolektif yang menyatu dengan kawasan Gunung Mutis yang perlu mereka sama-sama pelihara dan dipertahankan sebagai sumber identitas (communal identity). Tatkala identitas diberlakukan dalam hubungan masyarakat atau relasi sosial, terjadi kontradiksi antar lapisan yang menimbulkan kesenjangan identitas. Pada lapisan personal pemuka adat dan masyarakat adat menghadapi perubahan pandangan mengenai faotkanaf oekanaf dan mengalami benturan di dalam diri dalam pelaksanaan ritual serta pendekatan pemeliharaannya (personal-enacment identity gaps). Perbedaan usia, pengalaman, pendidikan, pengetahuan peran dan tanggung jawab menghasikan benturan pandangan dalam pendekatan dan cara membangun interaksi dan relasi di dalam marga dan dengan orang di luar marga untuk memelihara faotkanaf oekanaf mereka di kawasan Gunung Mutis terutama dalam menghadapi upaya degradasi dan desakralisasi wilayah tersebut (personal-relational identity gaps). Perbedaan kemampuan menggunakan teknologi informasi dalam perlindungan lingkungan dan cakupan jaringan sosial menjadi benturan-benturan perbedaan cara menampilkan diri dan perilaku ekologis (enactment-relational identity gaps). Di sisi lainnya, terdapat benturan antara kewajiban ritual dengan perubahan mata pencaharian, yang mengurangi kehadiran fisik peserta ritual sehingga ikatan emosi dengan faotkanaf oekanaf dan ketundukan penuh pada tradisi dan nilai-nilai adat mulai berkurang (relational-communal identity gaps). Kesenjangan identitas ini memperlihatkan identitas pemuka adat sebagai komunikator adat tradisional dan masyarakat adat menunjukkan sebagai komunikator adat modern. Adaptasi interaksi dilakukan oleh pemuka adat dan masyarakat adat untuk mengatasi kesenjangan identitas dalam penyesuaian interaksi sosial budaya-ekologis sebagai upaya pemeliharaan faotkanaf oekanaf melalui ritual. Pemuka adat mempertahankan tradisi dan nilai-nilai yang paling esensial dalam pelaksanaan ritual, mengingat kebutuhannya sebagai pemimpin ritual yang harus menjaga harmoni antara Uis Neno, Alam dan Leluhur, dan menjaga simbol-simbol yang diekspresikan dalam ritual agar berdampak secara ekologis dalam melindungi integritas ekosistem faotkanaf oekanaf, alam sekitar serta tanaman-tanaman serta ternak dan kesehatan jiwa raga mereka (Requirements). Sedangkan masyarakat adat berkebutuhan pada afiliasi komunitas, dan bertanggungjawab secara moral untuk melanjutkan tradisi serta membawa integritas ekosistem faotkanaf oekanaf dari waktu ke waktu (Requirements). Pemuka adat memiliki harapan agar faotkanaf oekanaf dan alam sekitarnya terus dijaga dan menerapkan nilai-nilai adat agar tidak mendapatkan malapetaka melalui ritual (Expectations) Masyarakat adat memiliki harapan agar faotkanaf oekanaf dan alam sekitarnya tetap lestari tanpa menghilangkan tradisi dan menerapkan pengetahuan modern dan teknologi informasi (Expectations). Pemuka adat memiliki keinginan agar semua anggota marga tidak melanggar nilai-nilai adat dan tidak melanggar doktrin-doktrin adat dalam pemeliharaan integritas ekosistem faotkanaf oekanaf dan sekitarnya dan tetap disiplin dan tertib dalam ritual dan proses-proses ritual (Desires). Masyarakat adat tetap akan memelihara tradisi dan mengawal integritas ekosistem faotkanaf oekanaf dengan menjalin relasi yang lebih luas dan mengkoordinasi identitas kolektif dan menyatukan dengan identitas kawasan, identitas etnis dan identitas pro ekologis (Desires). Dalam adaptasi interaksi pemuka adat dan masyarakat adat marga Tefa, mereka melakukan penyelarasan, akomodasi, kompensasi, timbal balik, kolaborasi dan klarifikasi sebagai upaya kebutuhan, harapan dan keinginan (RED) terpenuhi. Meskipun terdapat dua perbedaan pendekatan antara pemuka adat dan masyarakat adat dalam pemeliharaan ekosistem, pemuka adat mampu menghormati nilai-nilai baru akibat perubahan sosial budaya, sosial-ekonomi dan perkembangan teknologi informasi, bagi pemuka adat, ritual sakral dengan berpedoman pada nilai-nilai adat adalah pertahanan sumber identitas untuk menjaga faotkanaf oekanaf dan alam sekitarnya, sebagai fondasi dasar memahami jati diri, sumber identitas dan pembentukan perilaku ekologis untuk hidup tertib di alam. Sedangkan bagi masyarakat adat, mereka memiliki keterikatan kepada nilai-nilai adat yang masih kuat, dan berkomitmen pada pemeliharaan faotkanaf oekanaf sebagai sumber sejarah yang bukan hanya bernilai spiritual tetapi juga melihat sebagai sumber ilmu pengetahuan, yang perlu dijaga kelestariannya. Ritual merupakan sarana untuk mengkonstruksi identitas, namun juga perlu dipandang dalam konteks saat ini agar dalam dibawa melintasi waktu, dan membawa masyarakat luas serta pemerintah turut menjaga dan melestarikannya. Karenanya, masyarakat adat dalam konteks yang luas kemudian membangun relasi dalam cakupan lebih luas dan menyentuh politik lingkungan untuk mempertahankan Kawasan Gunung Mutis sebagai tempat jaringan ekologis faotkanaf oekanaf dan tidak diubah statusnya menjadi Taman Nasional (TN) dan Taman Wisata Alam (TWA). Perubahan status dianggap akan mendegradasi dan mendegradasikan integritas ekosistemnya yang telah dipandang bernilai spiritual dan sakral dan telah dijaga oleh hukum adat selama berabad-abad. Dalam jalinannya dengan studi mengenai identitas, Teori Komunikasi Identitas (CTI), Hecht et al, sebelumnya belum ditemukan yang membahas identitas dalam kaitannya dengan konteks alam sebagai sumber pembentukan identitas personal dan komunal. Alam atau lingkungan, dalam jalinannya dengan budaya tertentu, terkait dengan pandangan dunia dan bagian integral cara individu atau sebuah komunitas memandang dirinya sendiri. Ketika alam sebagai sumber identitas yang disakralkan dihilangkan atau didegradasikan maka akan memunculkan krisis identitas. Selain itu dalam konteks CTI belum banyak yang mengembangkan alam atau lingkungan tertentu merupakan ruang simbolis individu atau komunitas di mana mereka ingin dikenali dan orang lain mengenali (enactment layer). Perubahan sosial budaya, sosial-ekonomi dan teknologi informasi menyebabkan kesenjangan identitas (gap identity) dan perubahan perilaku ekologis yang berimplikasi langsung kepada perubahan pandangan dan pemeliharaan alam sebagai simbol identitas dan tempat rekonstruksi identitas melalui ritual. Penelitian ini juga menemukan adanya kompetensi komunikasi, di mana kesenjangan identitas dapat menjadi dorongan harmonisasi sosial pada personal layer pemuka adat sebagai komunikator adat tradisional dan masyarakat adat sebagai komunikator adat modern untuk mengatasi kesenjangan identitas. Sedangkan dalam enactment layer, simbol-simbol adat tetap digunakan dengan mengakomodasi teknologi informasi, dan mereka mempertahankan ikatan emosional antar anggota marga melalui ritual dan interaksi sosial (relational layer) serta ikatan emosional dengan alam (sense of place). kompetensi komunikasi di dalam proses adaptasi interaksi baik di dalam mengelola potensi konflik sosial, sehingga terjadi penyelarasan gaya komunikasi, penyampaian pesan- pesan lingkungan dengan komunikasi efektif, kemampuan berempati dengan sudut pandang orang lain, memahami harapan orang lain dan membangun kepercayaan. Dengan demikian mereka tetap memelihara lingkungan warisan leluhur dan alam sekitar, sedangkan kompetensi komunikasi memfasilitasi harmonisasi sosial budaya. Masyarakat berupaya untuk mengaktualialisasikan ritual dalam konteks modern dengan caranya masing-masing dan membuka ruang dialog, di mana pemuka adat lebih menitik beratkan kepada pengelolaan internal dari ritual ke ritual sakral, dan terbuka kepada perubahan sepanjang perubahan tersebut memberikan perlindungan pada tradisi dan pemeliharaan pada alam termasuk di dalamnya penghormatan pada integritas wilayah yang disakralkan. Sedangkan masyarakat adat, cenderung tidak dikotomis dalam pemeliharaan hutan keramat dan wilayah sekitarnya yang hanya bersandar pada ritual sakral, karena ilmu pengetahuan modern adalah spiritualitas alam. Mereka cenderung meluaskan cakupan dan melakukan strategi terencana, menerima advokasi lingkungan, membuka saluran politik lingkungan dan dialog tanpa meninggalkan nilai-nilai adat. Pada pembahasan, hasil penelitian ini memberikan kontribusi untuk mengembangkan Teori Adaptasi Interaksi (IAT) Judee Burgoon et al yang belum banyak membahas jalinannya dengan kelompok etnis tertentu/komunitas dan studi komunikasi lingkungan. Dalam penelitian ini, pemuka adat sebagai komunikator adat tradisional yang bersandar pada nilai-nilai tradisional melakukan adaptasi interaksi selektif, di mana sebagai komunikator tetap mengkomunikasikan pesan-pesan lingkungan, mengestafetkan pemeliharaan pelestarian alam bersumber dari khazanah pengetahuan lokal tradisional, dan menolak pesan lingkungan yang tidak relevan, mengubah tradisi leluhur atau merusak ekosistem untuk pertahanan identitas budaya. Sedangkan masyarakat adat sebagai komunikator adat modern melakukan adaptasi interaksi integratif dengan merespons tantangan perubahan sosial budaya, sosial-ekonomi dan teknologi informasi dan berupaya beradaptasi dengan lingkungan modern serta menunjukkan fleksibilitas di dalam interaksi dan membangun kolaborasi untuk memelihara wilayah yang disakralkan. Masyarakat adat melakukan transformasi simbolik dan upaya hibridisasi budaya. Secara metodologis, etnografi komunikasi Carbaugh berkontribusi dalam memahami nilai-nilai budaya dan identitas yang dibentuk melalui komunikasi, di mana praktik komunikasi menggambarkan nilai-nilai budaya tertentu. Dalam perilaku komunikasi, bagaimana masyarakat mempertahankan lingkungan sakral mereka di dalam perubahan sosial budaya, sosial-ekonomi dan teknologi informasi yang terus berkembang identitas akan terefleksikan. Temuan utama dalam penelitian ini adalah identitas dan adaptasi komunikasi marga Tefa yang modern, kolaboratif dengan panduan nilai-nilai adat. Sehingga studi komunikasi lingkungan dalam penelitian ini memperlihatkan perspektif baru bahwa keberlanjutan pemeliharaan ekosistem sakral, tidak selalu dipertahankan dengan kaku, melainkan dapat berkembang dengan adaptif dan kolaboratif tanpa kehilangan inti dari identitas budaya maupun identitas lingkungannya.
| Penulis Utama | : | Erna Suminar |
| Penulis Tambahan | : | - |
| NIM / NIP | : | T201808004 |
| Tahun | : | 2025 |
| Judul | : | Identitas DAN ADAPTASI KOMUNIKASI MARGA TEFA DALAM PEMELIHARAAN FAOTKANAF OEKANAF MELALUI RITUAL SAKRAL DI TIMOR TENGAH UTARA |
| Edisi | : | |
| Imprint | : | SURAKARTA - Fak. ISIP - 2025 |
| Program Studi | : | S-3 Ilmu Komunikasi |
| Kolasi | : | |
| Sumber | : | |
| Kata Kunci | : | Komunikasi lingkungan, identitas komunikasi, adaptasi interaksi, Faotkanaf oekanaf |
| Jenis Dokumen | : | Disertasi |
| ISSN | : | |
| ISBN | : | |
| Link DOI / Jurnal | : | https://sciety.org/articles/activity/10.31014/aior.1991.07.04.538 |
| Status | : | Public |
| Pembimbing | : |
1. Prof. Drs. Pawito, Ph.D 2. Prof. Dra. Prahastiwi Utari, Ph.D 3. Dr. Drajat Tri Kartono, S.Sos., M.Si |
| Penguji | : |
1. Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si 2. Sri Hastjarjo, S.Sos., Ph.D 3. Dr. Didik Gunawan Suharto, S.Sos., M.Si |
| Catatan Umum | : | |
| Fakultas | : | Fak. ISIP |
| Halaman Awal | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
|---|---|---|
| Halaman Cover | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB I | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB II | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB III | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB IV | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB V | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| BAB Tambahan | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| Daftar Pustaka | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |
| Lampiran | : | Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download. |