Pemerintah Kota Surakarta menghadirkan layanan angkutan umum Batik Solo Trans (BST) sejak tahun 2010 sebagai upaya menyediakan transportasi publik yang terjangkau dan terintegrasi. Seiring dengan perubahan skema pembiayaan melalui program Buy The Service (BTS), pada tahun 2025 pembiayaan sejumlah koridor, termasuk Feeder BST Koridor 9, dialihkan sepenuhnya kepada Pemkot Surakarta. Perubahan ini menimbulkan tantangan baru dalam menjaga keberlanjutan layanan di tengah keterbatasan anggaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja operasional, mengoptimalkan jam operasional, serta menganalisis tarif berdasarkan Ability to Pay (ATP), Willingness to Pay (WTP), dan Biaya Operasional Kendaraan (BOK), serta rekomendasi tarif Feeder BST Koridor 9.

 Metode pengumpulan data kinerja operasional dengan survei dinamis serta penyebaran kuesioner kepada pengguna. Data BOK diperoleh dari Dinas Perhubungan Kota Surakarta. Evaluasi kinerja mengacu pada SK.687/AJ.206/DRJD/2002 dan World Bank (1986), analisis ATP menggunakan metode household budget, analisis WTP menggunakan metode WTP rata-rata, dan analisis BOK menggunakan metode Departemen Perhubungan (2021). Hasil penelitian menunjukkan kinerja operasional sebagian tidak memenuhi standar, khususnya pada jumlah penumpang, jarak tempuh, dan load factor. Nilai ATP Rp5.142,79 (umum) dan Rp2.640,63 (mahasiswa/pelajar). Nilai WTP Rp4.023,75 (umum) dan Rp2.916,67 (mahasiswa/pelajar). Nilai BOK Rp8.015,45 /penumpang/rit. Rekomendasi tarif Rp4.000,00 (umum) dan Rp2.500,00 (mahasiswa/pelajar) dengan diimbangi peningkatan layanan.

 Implikasi dari hasil penelitian ini menunjukkan perlunya peran Pemerintah Kota Surakarta dalam menetukan kebijakan tarif dan langkah optimalisasi layanan. Penyesuaian tarif berdasarkan ATP dan WTP yang berada di bawah BOK menuntut kebijakan subsidi dan optimalisasi jam operasional, sebagai solusi keberlanjutan terhadap keterbatasan anggaran. Secara ilmiah, penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan kajian evaluasi transportasi perkotaan berbasis pendekatan sosial-ekonomi, serta menjadi referensi dalam penentuan kebijakan tarif. Temuan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah kota lain yang menghadapi tantangan serupa dalam mengelola layanan angkutan umum.