Rara Nurmalita Irawan. B0021061. 2025. Representasi Nyai Dalam Novel Cerita Nyai Dasima (2024) Karya G. Francis dan Lebih Putih Dariku (2024) Karya Dido Michielsen: Kajian Feminis Pascakolonial. Skripsi: Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini membahas representasi subjektivitas nyai dalam Cerita Nyai Dasima (2024) karya G. Francis dan Lebih Putih Dariku (2024) karya Dido Michielsen dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan teori feminisme pascakolonial Gayatri Spivak. Data primer meliputi teks naratif, dialog, dan deskripsi karakter nyai dalam novel Cerita Nyai Dasima (2024) karya G. Francis dan Lebih Putih Dariku (2024) karya Dido Michielsen. Data sekunder mencakup riwayat sosiologis kedua pengarang, konteks historis-sosial abad ke-19, perempuan dalam pandangan pengarang, serta terkait wacana kolonial dan pascakolonial yang melingkupi kedua pengarang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah membaca dan mencatat. Penelitian ini juga membongkar gagasan dominan dalam teks yang menunjukkan pandangan pengarang terhadap oposisi-oposisi biner, seperti terjajah-dijajah dan pribumi–Eropa yang membentuk hierarki dominan dan mereproduksi kekuasaan kolonial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cerita Nyai Dasima (2024) merefleksikan pandangan kolonial yang menempatkan perempuan pribumi dalam posisi subordinat dan tanpa agensi yang memperkuat oposisi biner yang mendukung struktur kekuasaan kolonial. Dalam narasi G. Francis, figur nyai digunakan sebagai alat propaganda kolonial untuk menstabilkan kekuasaan melalui proses dehumanisasi karena nyai dikonstruksi sebagai sosok yang lemah, gampang tergoda, dan tragis sehingga justifikasi terhadap dominasi kolonial menjadi tampak wajar. Sebaliknya, Lebih Putih Dariku (2024) menghadirkan pembacaan ulang yang lebih kompleks terhadap figur nyai. Dalam karya Dido Michielsen, nyai menjadi simbol terhadap ketidakadilan kolonial sekaligus menyoroti pengalaman personal nyai. Narasi ini memberi ruang bagi nyai untuk menyuarakan pengalaman dan membentuk agensinya sendiri, meskipun dalam batasan struktur sosial yang patriarkis. Dengan demikian, penelitian ini mengungkap adanya pergeseran dalam representasi nyai dari sosok yang terbungkam dan diperalat oleh kolonialisme menjadi figur yang lebih sadar dan mampu menyuarakan ketidakadilan meskipun masih terbatas. Konstelasi politik representasi nyai pun bergeser dari alat kekuasaan kolonial menjadi alat dekolonisasi yang menantang wacana dominan dan membuka ruang bagi pemulihan agensi nyai.