Keberagaman sosial di lingkungan kampus menciptakan ruang perjumpaan antara mahasiswa dari berbagai latar belakang nilai, budaya, dan pengalaman keagamaan. Bagi mahasiswa alumni pesantren, realitas ini kerap menjadi tantangan identitas, karena mereka membawa identitas keagamaan yang terbentuk kuat dalam ruang homogen dan terstruktur. Ketika memasuki kampus yang plural, mereka tidak hanya dihadapkan pada perbedaan nilai dan gaya hidup, tetapi juga pada stereotip negatif terhadap latar belakang pesantren, seperti anggapan konservatif, eksklusif, atau sulit beradaptasi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana alumni pesantren menegosiasikan identitas keagamaan mereka di tengah pluralitas kampus, apa saja faktor yang memengaruhi proses tersebut, serta dampak yang timbul baik secara personal maupun sosial.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap delapan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang merupakan alumni pesantren dengan latar belakang pendidikan dan jurusan yang beragam. Analisis data dilakukan secara tematik dengan mengacu pada kerangka teori Negosiasi Identitas oleh Stella Ting-Toomey, yang memetakan proses negosiasi ke dalam empat tahap: self-assessment, exploration and interaction, social adaptation, dan evaluation and reflection. Validitas data diperoleh melalui triangulasi sumber dan interpretasi naratif berdasarkan pengalaman personal informan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses negosiasi identitas keagamaan pada alumni pesantren bersifat dinamis dan kompleks. Dalam tahap awal, informan merefleksikan kembali nilai-nilai keagamaan yang dianggap penting dan tak tergantikan. Pada tahap interaksi dan adaptasi, mereka mulai membentuk strategi komunikatif yang bervariasi, mulai dari mempertahankan nilai secara selektif, menyesuaikan ekspresi keagamaan dengan konteks sosial, hingga mereduksi simbol identitas untuk menjaga kenyamanan dan penerimaan. Proses ini dipengaruhi oleh faktor internal seperti komitmen religius dan dorongan partisipatif, serta faktor eksternal seperti lingkungan sosial kampus, budaya organisasi, stereotip, dan dukungan kelembagaan. Hasil akhir dari negosiasi terbagi ke dalam tiga pola: mempertahankan nilai secara utuh, mengintegrasikan nilai baru secara adaptif, dan mereduksi identitas simbolik demi kenyamanan sosial. Temuan ini menegaskan bahwa identitas keagamaan tidak bersifat statis, melainkan terbentuk melalui proses dialogis yang reflektif dalam konteks sosial yang terus berubah