Batik adalah warisan budaya takbenda Indonesia yang memiliki nilai sejarah, filosofi, dan estetika tinggi. Di era modern, pelestariannya membutuhkan inovasi agar tetap sesuai perkembangan zaman, salah satunya melalui penggunaan pewarna alami sebagai alternatif ramah lingkungan pengganti warna sintetis. Pewarna sintetis yang selama ini banyak digunakan terbukti berpotensi mencemari alam. Pewarna sintetis mengandung zat-zat yang sangat berbahaya dan memiliki sifat yang sulit terurai di lingkungan. Kayu mer (Arcangelisia flava Merr) menjadi bahan pewarna alami yang potensial karena kandungan senyawa aktif yang mampu menghasilkan warna khas, meski belum banyak diteliti dalam konteks batik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas ekstraksi kayu mer sebagai pewarna alami pada kain batik mori primisima, dengan variasi jumlah celupan dan jenis fiksator, sebagai upaya inovasi pelestarian batik. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan eksperimen. Sampel dibuat dari batik cap kain mori primissima dengan lima variasi jumlah pencelupan serta tiga jenis fiksator: tawas, kapur, dan tunjung. Setiap sampel diuji melalui uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian dan gosokan kering dan basah. Arah warna dianalisis menggunakan komputer grafis. Hasil data dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil menunjukkan bahwa zat warna dari ekstraksi kayu mer mampu menghasilkan warna yang bervariasi tergantung pada jumlah pencelupan dan jenis fiksator. Hasil menunjukkan pencelupan sebanyak 9 kali memberikan hasil yang optimal. Arah warna dianalisis menggunakan format CMYK dengan fiksasi tawas (2% C, 9% M, 53% Y, 0% K), kapur (3% C, 13% M, 29% Y, 0% K), dan tunjung (1% C, 31% M, 71% Y, 0% K). Kayu mer terbukti efektif dijadikan sebagai pewarna alami pada batik. Jumlah pencelupan dan jenis fiksator berpengaruh terhadap intensitas dan ketahanan warna.