Penelitian ini membahas hegemoni terhadap Reyog Ponorogo sebagai budaya lokal yang mengalami pergeseran makna dan fungsi akibat dominasi kekuasaan, politik, dan ekonomi. Reyog tidak hanya dimaknai sebagai kesenian tradisional, melainkan sebagai instrumen simbolik kekuasaan yang digunakan oleh aktor-aktor politik untuk memperkuat legitimasi dan citra di mata publik. Penelitian ini bertujuan menelusuri sejarah pelestarian Reyog Ponorogo, menganalisis bentuk hegemoni yang muncul dalam proses pelestarian, serta melihat dampaknya terhadap identitas budaya dan masyarakat lokal. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teori hegemoni Antonio Gramsci menjadi kerangka analisis utama untuk melihat kekuasaan bekerja melalui ideologi dan konsensus dalam ruang budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelestarian Reyog menunjukkan bentuk hegemoni inetgral, di mana masyarakat menerima konstruksi budaya dominan sebagai “kebenaran bersama” (common sense). Upaya kooptasi dari counter hegemoni berbentuk Festival Reyog Ponorogo, branding kota, dan regulasi pemerintah setempat, Praktik ini menciptakan jarak antara nilai-nilai otentik Reyog dengan bentuk penyajian modern yang dikendalikan kekuasaan. Di sinilah, memunculkan resistensi dan perlawanan dari komunitas lokal yang berusaha mempertahankan nilai-nilai tradisional Reyog. Penelitian ini menunjukkan bahwa seni tradisional adalah arena perebutan makna antara negara dan rakyat. Ia bukan entitas netral, melainkan ruang diskursif yang sarat muatan politik dan ideologis.