Media sosial kini menjadi platform penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan perasaan dan kritik terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menyelidiki ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah di platform X melalui tagar #KaburAjaDulu, serta menganalisis interaksi pengguna yang membentuk wacana kolektif di balik tagar tersebut. Tagar ini sangat populer setelah pergantian presiden dan kabinet baru. Tagar #KaburAjaDulu menjadi salah satu representasi dari keresahan publik yang semakin meluas. Hal ini menggambarkan bahwa perlawanan tidak hanya demonstrasi secara nyata namun bisa melalui protes digital khususnya di kalangan generasi muda yang aktif secara daring. Menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik dari George Herbert Mead dan Herbert Blumer sebagai kerangka analisis, penelitian kualitatif ini menerapkan metode netnografi untuk mengeksplorasi pola komunikasi dan makna dalam percakapan daring. Netnografi menganalisis perilaku pengguna di media sosial, memungkinkan penelitian mendalam tentang interaksi antar pengguna. Netnografi memiliki 3 komponen utama dalam sebuah penelitian yakni investigasi, interaksi, dan imersi dengan mengintegrasikan ketiga komponen peneliti dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai budaya dan interaksi sosial di dunia maya. Data dikumpulkan dari 1.140 cuitan pengguna platform X dengan tagar #KaburAjaDulu, yang diamati dari 01 Januari hingga 28 Februari 2025 menggunakan Google Colab khususnya Tweet Harvest.Hasil penelitian menemukan bahwa tagar #KaburAjaDulu berfungsi sebagai saluran untuk mengekspresikan emosi kolektif yang dikategorikan dalam empat jenis emosi seperti a. Ekspresi Kekecewaan sebanyak 337 cuitan, b. Ekspresi Harapan 335 cuitan, c. Ekspresi Kemarahan 256 cuitan, d. Ekspresi Kejenuhan 212 cuitan. Keempat tema ini mencerminkan masyarakat tidak hanya sekadar menyampaikan pendapatnya secara pasif, tetapi juga secara aktif membangun solidaritas di antara mereka yang memiliki perasaan serupa. Tagar ini menjadi simbol yang menyatukan berbagai suara yang merasa tidak didengar. Proses ini tidak hanya bertujuan untuk memetakan isu-isu utama yang menjadi pusat ketidakpuasan pengguna, tetapi juga untuk memahami ekspresi emosional yang dibangun melalui interaksi oleh para pengguna.