Selada butterhead (Lactuca sativa var. capitata), menjadi sumber penting karena kandungan fitonutriennya seperti vitamin C, K, β-karoten, folat, dan senyawa bioaktif antidiabetik dan antiinflamasi. Di Indonesia, produksi selada meningkat secara konsisten dari 652.727 ton (2019) menjadi 727.467 ton (2021), namun ketergantungan ekspor dan impor masih tinggi, sementara alih fungsi lahan dan keterbatasan ruang semakin mempersempit lahan budidaya. Sistem hidroponik NFT menjadi solusi ideal untuk lahan terbatas, menawarkan efisiensi air dan nutrisi yang tinggi serta hasil berkualitas tanpa tanah. Tujuan tugas akhir ini mencakup pengaplikasian neem oil pada budidaya selada butterhead di lahan terbatas, praktik pemasaran, dan evaluasi kelayakan usahatani. Tugas akhir dilaksanakan 19 Mei–31 Juli 2025 di dataran rendah (147 mdpl) dengan suhu harian 22–31°C. Metode pelaksanaan meliputi observasi, dokumentasi, studi pustaka, dan pengamatan. Hasil menunjukkan pengaplikasian neem oil dosis 1,25 mL/L (14–28 HSS) dan 2,5 mL/L (>28 HSS) efektif mencapai 92,5 % keberhasilan pengendalian thrips dan penyakit mata kodok. Strategi pemasaran berbasis analisis SWOT dan STP menargetkan konsumen perkotaan umur 20–50 tahun dan sektor restoran atau katering, memosisikan produk sebagai sayuran yang aman dan berkelanjutan. Bauran pemasaran 4P diterapkan, produk berkualitas dengan harga Rp40.000/kg (B2C) dan Rp35.000 (B2B), distribusi Solo–Karanganyar, serta promosi online dan offline. Secara finansial, total biaya produksi senilai Rp816.190 untuk 29 Kg panen menghasilkan HPP Rp28.144/Kg, HJP Rp40.000/Kg (B2C) dan Rp35.000 (B2B), penerimaan Rp1.085.000, dan keuntungan bersih Rp268.810. Rasio R/C sebesar 1,33 dan rasio B/C sebesar 0,33 menunjukkan usahatani ini layak dan menguntungkan. Titik impas tercapai pada penjualan minimal 20 Kg dengan harga minimal HPP Rp28.144/Kg. Secara keseluruhan, pengaplikasian neem oil dalam budidaya selada butterhead secara hidroponik sistem NFT tidak hanya agronomis tepat, tetapi juga ekonomis dan berkelanjutan.