Kebaya encim merupakan busana hasil akulturasi dari budaya Indonesia, Belanda, dan Tionghoa yang diadaptasi oleh perempuan Cina Peranakan. Namun saat ini, eksistensinya mulai tergantikan oleh perkembangan fesyen modern yang lebih praktis, fungsional, dan mudah dipadukan, sehingga kebaya encim dipandang kurang sesuai dengan gaya hidup modern. Berdasarkan dari permasalahan tersebut, perancangan ini berupaya untuk merevitalisasi kebaya encim tradisional menjadi busana kasual yang relevan bagi perempuan muda berusia 18–30 tahun, dengan menekankan pada aspek kenyamanan, pelestarian nilai budaya, dan kesesuaian dengan preferensi fesyen masa kini. Metode ATUMICS oleh Nugraha digunakan sebagai dasar penerapan konsep transformasi tradisi dalam perancangan ini. Transformasi tradisi bertujuan untuk menghadirkan pembaruan pada nilai tradisi tanpa menghilangkan keasliannya, dengan prinsip utama berupa integrasi antara elemen tradisional dan modern pada kebaya encim. Perancangan ini mengintegrasikan elemen tradisional kebaya encim dengan sentuhan modern untuk menghasilkan kebaya encim yang estetis, bernilai budaya, sekaligus relevan bagi perempuan muda masa kini. Transformasi tersebut menghasilkan kebaya encim kasual yang mengutamakan aspek kenyamanan, kemudahan padu padan, serta tetap mempertahankan karakteristik khas melalui potongan meruncing, kerah berbentuk V, dan bukaan depan tanpa kancing. Inovasi diwujudkan melalui pemilihan material berupa kombinasi katun, poliester, dan rayon, penggunaan ragam hias bunga peoni yang disederhanakan dengan teknik sulam jelujur, serta pemilihan warna merah muda pastel yang merefleksikan karakter Yin, sehingga tercipta kebaya encim kasual yang bernilai budaya dan tetap relevan dengan gaya hidup masa kini.