Penelitian ini membahas proses negosiasi penambahan pilar batas negara di perbatasan Indonesia–Papua Nugini pada periode 2021–2024. Wilayah perbatasan sepanjang ±820 km ini menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kondisi geografis yang sulit dijangkau, keberagaman budaya masyarakat setempat, hingga terbatasnya jumlah pilar batas (52 pilar) yang menyebabkan pengawasan menjadi tidak optimal. Kondisi ini memicu berbagai pelanggaran lintas batas, seperti pengakuan sepihak terhadap wilayah Indonesia dan aktivitas ilegal melalui jalur tradisional. Penelitian ini berfokus pada peran Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama (BPPK) Provinsi Papua dalam mempertegas kedaulatan dan meningkatkan keamanan kawasan melalui penambahan pilar batas negara. Menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam dan studi pustaka, analisis dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian, dan penarikan kesimpulan. Teori Boundary Making Stephen B. Jones dan konsep Coordinated Border Management (CBM) digunakan sebagai landasan analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penambahan pilar dilakukan melalui koordinasi intensif antarinstansi domestik dan bilateral, mencakup tahap perencanaan, survei, pemasangan fisik, serta pemantauan bersama dengan pihak Papua Nugini. Upaya ini berdampak pada peningkatan kejelasan garis batas, penguatan fungsi keamanan, dan pengurangan potensi konflik lintas batas. Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis terhadap studi hubungan internasional dan praktis sebagai acuan kebijakan pengelolaan perbatasan di masa depan.