Tradisi Shab-e Yalda merupakan perayaan musim dingin yang dirayakan pada tanggal 20 atau 21 Desember setiap tahun untuk menyambut kelahiran kembali matahari (the rebirth of the sun). Tradisi ini merupakan warisan budaya yang diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda. Perayaan ini berakar pada kepercayaan Zoroastrianisme dan melambangkan kemenangan cahaya atas kegelapan. Meskipun telah banyak dikaji dari segi sejarah dan sastra, penelitian mengenai nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam tradisi ini masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisi celah tersebut dengan menganalisis nilai spiritual dalam tradisi Shab-e Yalda melalui pendekatan semiotika Roland Barthes.Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan studi kepustakaan. Data primer diperoleh dari video dokumenter dan sumber-sumber autentik tentang Shab-e Yalda, sedangkan data sekunder berasal dari jurnal, buku, dan artikel terkait. Analisis data dilakukan dengan teknik Miles dan Huberman, meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pendekatan semiotika Barthes digunakan untuk mengurai makna denotatif, konotatif, dan mitos dari simbol-simbol dalam tradisi tersebut.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Shab-e Yalda menurut Mircea Eliade mengandung tiga nilai spiritual utama yaitu refleksi diri, solidaritas, dan harapan. Nilai-nilai ini terwujud melalui berbagai elemen ritual, seperti dekorasi Sofreh Yalda, pertemuan keluarga, pembacaan puisi Hafez (Fal-e Hafez), serta dongeng Shahnameh. Analisis semiotika mengungkap bahwa tradisi ini tidak hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga berfungsi sebagai sarana internalisasi ajaran spiritual yang ditransmisikan lintas generasi. Implikasinya, Shab-e Yalda memperkuat identitas budaya, memelihara ikatan sosial, dan memberikan makna transendental dalam kehidupan masyarakat Iran.