Analisis yuridis prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Penulis Utama
:
Irawan Amin Nugroho
NIM / NIP
:
E0005193
×Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prosedur pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut UUD 1945 UUD 1945 baik sebelum perubahan maupun setelah perubahan. Selain itu juga untuk mengetahui implikasi yurudis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dan terapan. Penelitian yang bersifat preskriptif merupakan penelitian hukum dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu pertama, UUD 1945 sebelum perubahan tidak ada pengaturan mengenai prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan namun dalam praktek yang terjadi, ada dua presiden yang diberhentikan di tengan masa jabatannya yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Landasan hukum yang digunakan pada waktu itu adalah penjelasan UUD 1945 dan juga Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/ atau antar Lembaga – Lembaga Tinggi Negara. Kemudian setelah adanya perubahan UUD 1945 maka pengaturan mengenai alasan-alasan dan prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden sudah diatur lebih tegas yaitu diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 hasil perubahan. Apabila DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya berpendapat bahwa presiden dan/ atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka pendapat tersebut harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila Mahkamah Konstitusi dalam putusannya membenarkan pendapat DPR tersebut maka Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam waktu tiga puluh hari sejak menerima usulan tersebut, MPR harus menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk memutuskan memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden atau tidak. Kedua, implikasi yuridis dari adanya ketentuan mengenai pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah terjadinya penguatan sistem presidensiil serta adanya kewajiban bagi MK untuk menilai pendapat DPR mengenai usulan pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden tersebut.
Kata kunci: UUD 1945, DPR, MK, MPR
×
Penulis Utama
:
Irawan Amin Nugroho
Penulis Tambahan
:
-
NIM / NIP
:
E0005193
Tahun
:
2009
Judul
:
Analisis yuridis prosedur pemberhentian presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945