Tari Bedhaya Ketawang di Kraton Surakarta Hadiningrat
Penulis Utama
:
Yohanes Nova Avianto
NIM / NIP
:
×Tujuan Penelitian ini adalah : (1) Mengetahui sejarah lahirnya tari Bedhaya Ketawang, (2) Mengetahui makna tari Bedhaya Ketawang, (3) Mengetahui prosesi pelaksanaan tari bedhaya ketawang, (4) Mengetahui pandangan masyarakat Seniman Surakarta terhadap eksistensi tari Bedhaya Ketawang.
Sejalan dengan Tujuan Penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Metode diskriptif kualitatif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Sumber data yang dipakai adalah informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik wawancara dan observasi. Teknik analisa data dalam penelitian ini adalah model analisis data interaktif, yaitu suatu analisis yang bergerak diantara tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan verifikasi atau kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan : (1) Bahwa tari Bedhaya Ketawang yang ditarikan oleh sembilan orang penari cantik yang memakai pakaian yang sama mempunyai makna yang luhur atau sakral. Kalangan kraton Surakarta percaya bahwa pencipta tari Bedhaya Ketawang adalah Panembahan Senapati, karena ini didasarkan atas pengalaman Panembahan Senapati itu sendiri waktu bertapa, dalam tapanya Panembahan Senapati melakukan hubungan layaknya suami istri dengan Kanjeng Ratu Kidul. Proses hubungan itulah yang menjadi dasar dalam gerak dan gerik dalam tari Bedhaya Ketawang. Kanjeng Ratu Kidul sendiri dipercaya sebagai ratu mahkluk halus yang merajai mahkluk halus yang lain yang ada di dasar Pantai Laut Selatan Jawa; (2) Tari Bedhaya Ketawang tarmasuk jenis tari Jawa klasik atau kuno karena terlihat dalam prosesi masuk dan keluarnya penari itu sendiri yang selalu mengkanankan raja, karena raja dianggap sebagai wakil dari Tuhan. Pilihan harinya untuk latihan juga khusus karena didasarkan atas hari lahirnya Kanjeng Ratu Kidul yaitu hari Selasa Kliwon atau setiap 35 hari sekali. Posisi lantai penarinya yaitu 2-5-2 menyerupai model pesawat terbang, makna yanag terkandung sering dikaitkan dengan adat upacara, sakral atau religius dan sebagai tarian percintaan. Sedangkan makna yang lain yaitu kesembilan orang penari itu melambangkan delapan arah mata angin dengan satu pusat penjuru di tengah-tengahnya. Makna filosofisnya yaitu kesembilan orang penari itu melambangkan sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia. Fungsi tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana meditasi raja, penobatan raja dan kenaikan tahta raja atau tingalan jumenengan; (3) Sebelum pagelaran tari Bedhaya Ketawang dimulai didahului sinuhun miyos dari dalem ageng prabasuyasa menuju pendapa sasana sewaka diiringi abdi dalem Nyai Mas Tumenggung. Abdi dalem ini melaporkan bahwa tari Bedhaya Ketawang siap untuk dikeluarkan. Jika rebab sudah digesek merengek-rengek merdu pertanda tari Bedhaya Ketawang keluar dari dalem ageng prabasuyasa, jalannya urut satu persatu menuju pendapa sasana sewaka. Pagelaran tari ini menceritakan tiga episode yaitu pertemuan, percintaan dan persetubuhan Kanjeng Ratu Kidul dengan Panembahan Senapati. Posisi penarinya dalam pagelaran tari tidaklah selalu demikan, tetapi selalu berubah-ubah sesuai dengan yang dilambangkan, namun pada akhir pagelaran membentuk posisi tiga bersap; (4) Pandangan berbagai seniman tari menganggap bahwa tari ini merupakan tarian pusaka kraton yang erat hubungannya dengan sesaji, karya seni yang luhur, tarian ritual yang tidak lain sebagai pagelaran atau upacara-upacara tertentu misalnya, penobatan raja dan kenaikan tahta jadi bukan sebagai bentuk tarian lazimnya seperti tarian-tarian yang sering dipentaskan di muka umum. Wujud pelestariannya adalah sebagai berikut yaitu setiap 35 sekali jatuh pada hari Selasa Kliwon diadakan latihan, setiap satu tahun sekali jatuh pada hari penobatan selalu diadakan pagelaran tari Bedhaya Ketawang. Prospek masa depan tari Bedhaya Ketawang sendiri yang paling utama adalah selama Kraton Surakarta masih berdiri tari Bedhaya Ketawang akan tetap eksis karena merupakan “Indonesianya” Mataram yang tetap harus dijaga dan dirawat.
×
Penulis Utama
:
Yohanes Nova Avianto
Penulis Tambahan
:
-
NIM / NIP
:
Tahun
:
2007
Judul
:
Tari Bedhaya Ketawang di Kraton Surakarta Hadiningrat
Edisi
:
Imprint
:
Surakarta - FKIP - 2007
Program Studi
:
-
Kolasi
:
xiv, 99 hal.
Sumber
:
UNS-FKIP Jurusan Pendidikan ilmu Pengetahuan Sosial NIM.K4402525
Kata Kunci
:
Jenis Dokumen
:
Skripsi
ISSN
:
ISBN
:
Link DOI / Jurnal
:
-
Status
:
Public
Pembimbing
:
1. Dra. Sri Wahyuning, M.Pd 2. Dra. Sariyatun, M.Pd, M.Hum
Penguji
:
Catatan Umum
:
5572/2007
Fakultas
:
Fak. KIP
×
File
:
Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.