Penulis Utama : Sukmawan Wisnu Pradanta
NIM / NIP : S701308006
×

ABSTRAK
Bancakan weton merupakan peringatan hari kelahiran dalam hitungan kalender
Jawa yang jatuhnya setiap 35 hari sekali (selapan) yang bertujuan untuk “ngopahi sing
momong” (member upah kepada yang mengasuh), wujud rasa syukur, melaksanakan
tradisi, dan spiritualisme (kejawen). Pelaksanaan bancakan weton dilakukan dengan
menggunakan ubarampe dan tata cara tertentu. Fenomena masih adanya sebagian
masyarakat yang mempertahankan tradisi bancakan weton di satu sisi, dan sudah
adanya masyarakat yang meninggalkan tradisi ini di sisi lain, menarik Peneliti untuk
mengetahui apa saja nilai-nilai budaya dari tradisi bancakan weton ini. Dalam penelitian
ini, bancakan weton dengan segala fenomena dan nilai-nilai kebudayaannya dikaji
dalam ranah ilmu kajian budaya, sebagai bentuk tradisi di Kota Surakarta yang penuh
dengan simbolisme.
Penelitian ini ialah penelitian etnografi yang memfokuskan pada kajian
fenomenologis dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini di Kecamatan
Banjarsari, Jebres, Pasar Kliwon, Laweyan, dan Serengan Kota Surakarta. Subjek
penelitian ini adalah 2 informan ahli dari akademisi dan otoritas Keraton Kasunanan, 4
orang anggota masyarakat adat Jawa yang masih menjalankan tradisi bancakan weton di
Kecamatan Banjarsari, Jebres dan Pasar Kliwon, serta 1 orang dari Dinas Pariwisata
kota Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipatif, wawancara, studi dokumen dan studi kepustakaan.Validitas data
yang digunakan adalah teknik triangulasi. Analisis data mencakup lima hal, yaitu
identifikasi, klasifikasi, deskripsi, interpretasi dan formulasi.
Dari penelitian ini diketahui makna simbolis yang terkandung dalam ubarampe
bancakan weton untuk anak di Kota Surakarta, antara lain: 1) Tumpeng (tumuju marang
Pengeran), simbol gunung dan do’a kepada Tuhan. 2) Ingkung (ingsun tansah
manekung), simbol menyembah kepada Tuhan. 3) Gudhangan atau kuluban yang terdiri
dari : a) Bayem (adem ayem), simbol ketenteraman; b) Kacang dawa (yuswa dawa),
simbol umur panjang; c) Cambah (tansah semrambah), simbol kesuburan; d) Kluwih
(luwih-luwih), simbol hidup berkecukupan; e) Kangkung (jinangkungan dening Gusti
Kang Murbeng Dumadi) simbol selalu mendapat perlindungan dari Tuhan. 4) Telur
Rebus, simbol asal mula kehidupan. 5) Bumbu urap atau Sambel Gudhangan, terdiri
dari kelapa muda diparut diberi bumbu, simbol kehidupan yang terdiri dari manis, pahit
dan getir. 6) Jajan pasar, memiliki makna umum urip yen dhasar tatanane Gusti tentu
ora bakal nyasar (hidup kalau mengikuti aturan Tuhan tidak akan salah jalan), terdiri
dari: a) Wajik (wani tumindak becik), simbol keberanian berbuat kebaikan; b) Gedhang
ijo (gaweo seneng anak lan baja), simbol perintah menyenangkan anak istri; c) Sukun
simbol kerukunan; d) Nanas (wong urip aja nggragas), simbol larangan tidak boleh
rakus; e) Dhondhong (aja kegedhen omong), simbol larangan besar omong); f) Jambu
(aja ngudal barang sing wis mambu), simbol larangan melakukan sesuatu yang buruk;
g) Jeruk (njaba jero kudu mathuk), simbol lahir batin harus sejalan). 7) Kembang
Telon/Kembang Setaman, terdiri dari: a) Bunga mawar (awar-awar), simbol agar tawar
xiv
dari nafsu negatif; b) Bunga melati (melat-melat ning ati), simbol selalu eling lan
waspada; c) Kanthil (tansah kumanthil), simbol hati yang selalu terikat dengan leluhur.
8) Bubur 7 Rupa, terdiri dari : a) Bubur merah (simbol ibu); b) Bubur putih (simbol
ayah); c) Bubur merah silang putih (simbol hubungan timbal balik ayah dan ibu); d)
Bubur putih silang merah (simbol hubungan timbale balik ayah dan ibu); e) Bubur putih
tumpang merah (simbol hubungan timbale balik ayah dan ibu); f) Bubur merah tumpang
putih (simbol hubungan timbale balik ayah dan ibu); g) Baro-baro (bubur putih ditaruh
sisiran (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya) (simbol kelahiran anak
sebagai akibat hubungan timbale balik ayah dan ibu). Hal ini menjadi pepeling
(peringatan) agar kita jangan sampai mengkhianati orang tua. 9) Uang logam (koin)
yang diletakkan di bawah tumpeng, dengan makna bahwa konsep uang dalam
masyarakat Jawa adalah berada di bawah, jangan sampai mengagung-agungkan uang
dan harta bukanlah segalanya.
Hubungan makna moral dan makna spiritual bancakan weton dan Kejawen
hanya pada keyakinan atas konsep harmoni, sedulur papat lima pancer dan
pengendalian nafsu manusia / olah rasa, bukan pada suatu bentuk ritual suatu ajaran
agama. Dan pada perkembangannya, bancakan weton di Kota Surakarta hanya
dilakukan oleh orang tua untuk me-bancak-i anaknya kurang lebih sampai umur 8
bulan.
Bancakan weton sebagai salah satu tradisi ritual kejawen masyarakat Jawa sudah
mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Kota Surakarta. Kalaupun tradisi ini
dijalankan tetapi sudah semakin jauh dari pakem, kontrol lingkungan mengenai benar
salah pelaksanaan tradisi sudah longgar, pelaksanaan hanya dicuplik sesuai dengan yang
diinginkan saja, yang ada tinggal konsep yang bisa menyebabkan pemahaman makna
dari simbol-simbol tradisi bancakan weton ini hilang. Hal ini disebabkan oleh: a)
Kurangnya kesadaran memelihara tradisi; b) Kurangnya apresiasi terhadap budaya
lokal; c) Anggapan bahwa bancakan weton merupakan perbuatan syirik; d) Mantra
dalam bancakan weton dianggap sebagai doa kepada selain Tuhan, sehingga
banyak yang tidak mau melaksanakannya lagi.
Kata Kunci: Nilai-nilai Budaya Jawa, Bancakan Weton, Simbolisme

×
Penulis Utama : Sukmawan Wisnu Pradanta
Penulis Tambahan : -
NIM / NIP : S701308006
Tahun : 2016
Judul : Kajian Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Tradisi Bancakan Weton Di Kota Surakarta (Sebuah Kajian Simbolisme Dalam Budaya Jawa)
Edisi :
Imprint : Surakarta - Pascasarjana - 2016
Program Studi : S-2 Kajian Budaya
Kolasi :
Sumber : UNS-Pascasarjana Prodi.Kajian Budaya-S.701308006-2016
Kata Kunci :
Jenis Dokumen : Tesis
ISSN :
ISBN :
Link DOI / Jurnal : -
Status : Public
Pembimbing : 1. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum,
Penguji :
Catatan Umum :
Fakultas : Sekolah Pascasarjana
×
File : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.