Kota Lama Semarang sebagai kawasan cagar budaya yang dulu sering disebut sebagai The Little Netherland karena suasananya yang mirip sekali dengan kota-kota di Belanda kini keindahannya tertutup oleh banyaknya bangunan tua roboh dan tak terawat. Kondisi ini diperparah dengan adanya banjir-rob yang sering melanda. Di lain sisi kebutuhan akan ruang publik kota -khususnya ruang terbuka hijau- juga semakin mendesak untuk diwujudkan sebagai salah satu penyangga kehidupan masyarakat perkotaan. Semakin minimnya ruang publik mengakibatkan semakin menurunnya kualitas hidup masyarakat perkotaan karena tergerus oleh tekanan hidup di perkotaan. Ruang terbuka hijau yang juga semakin minim karena dikonversi menjadi area pemukiman mengakibatkan limpasan air hujan tidak meresap dengan baik ke dalam tanah sehingga mengakibatkan banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut munculah gagasan untuk memasukkan fungsi ruang publik ke dalam Kawasan Kota Lama Semarang. Ruang publik ini diharapkan menjadi solusi atas permasalahan pelestarian Kota Lama sebagai kawasan cagar budaya, minimnya ruang publik, dan menipisnya ruang terbuka hijau. Strategi penerapan Urban Acupuncture, penggunaan Rain Garden/Wetland Park, pemberdayaan UMKM, rekayasa lalu lintas dan redesain koridor jalan, serta konektivitas moda transportasi, digunakan dalam merencanakan masterplan kawasan untuk mewujudkan Kota Lama sebagai ruang publik di kawasan cagar budaya nan lestari. Terakhir, Anjungan Kota Lama dan Plaza Paradeplein dirancang menjadi zona inti kawasan sekaligus menjadi wadah berbagai kegiatan interaksi sosial, komunitas, dan sarana rekreasi masyarakat Kota Semarang.
Kata Kunci: Pelestarian Kawasan Cagar Budaya, Penataan Kawasan, Ruang Publik Kota, Ruang Terbuka Hijau.