×
Di Indonesia belum banyak berkembang teori sosial baru. Seakan setelah
Habermas, tiada lagi. Maka penting untuk mengkaji pemikir sosial baru lewat
skripsi ini. Memilih Jacques Ranciere sebagai tokoh yang dibedah pemikirannya
didasari kontribusi besarnya dalam mewacanakan filsafat dan ilmu sosial di
samping nama-nama lain: Alain Badiou, Jean-Luc Nancy, Ernesto Laclau, atau
Slavoj Zizek. Dibandingkan mereka, Ranciere lebih tekun menjelajah politik dan
estetika, terkhusus isu kesetaraan dan demokrasi. Pemikiran Ranciere terkait isu
tersebut penting mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang masih perlu
mempertanyakan “kesetaraan”.
Penelitian ini bertujuan menjelaskan pemikiran Jacques Ranciere pada para
pembelajar Sosiologi di Indonesia, khususnya pemikiran ihwal kesetaraan radikal.
Tak berhenti di situ, penelitian ini juga mencoba mencari kemungkinan penerapan
kesetaraan radikal Ranciere dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori disensus, dicetuskan oleh
Ranciere. Sepuluh tesis politik dalam disensus Ranciere menjadi proposisi untuk
menjelaskan kesetaraan radikal. Penelitian ini merupakan studi literatur dengan
pendekatan hermeneutis. Data diambil dari literatur-literatur terkait, baik yang
ditulis Ranciere sendiri atau para pengkaji. Teknik analisis penelitian ini memakai
hermeneutical circle yang menunjukkan kelindan antara teori dan pemaknaan,
selain juga kontekstualisasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemikiran Ranciere penting
dalam kajian Sosiologi, mengingat kontribusinya mengevaluasi dan mengkritik
pemikiran kesetaraan para sosiolog sebelumnya. Kesetaraan menurut Ranciere,
secara sederhana, berarti melampaui dikotomi, kategorisasi, dan segala bentuk
pembedaan. Selama semua orang mampu berpikir dan berbahasa, maka semua
orang adalah setara. Tidak perlu ada berbagai partisi dan hierarki. Kesetaraan
menjadi problem saat diwacanakan dalam konteks masyarakat multikultural.
Nancy Fraser menyebut percabangan antara politik redistribusi dan politik
pengakuan membuat kesetaraan dalam masyarakat mutikultural menjadi pincang.
Jika merujuk politik redistribusi, politik pengakuan dianggap tak berlaku, begitu
pula sebaliknya. Karena itu, Fraser memakai pelampauan atas partisi dan hierarki,
sebagaimana Ranciere, sebagai solusi untuk mengatasi dilema kesetaraan dalam
politik. Kesetaraan lebih dulu ada sebelum hadir bermacam partisi dan hierarki.