×
Abstrak
Kasus korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian pihak. Namun ditengah gegap gempita penanganan kasus korupsi justru di Kejaksaan banyak terpidana kasus korupsi yang tidak segera dieksekusi oleh Jaksa. Jaksa berdalih mereka baru menerima petikan putusan dan terdakwa menolak di eksekusi dengan dasar petikan putusan. Disisi lain Pengadilan berpendapat bahwa petikan putusan bisa sebagai dasar eksekusi sehingga terjadi perdebatan antara Kejaksaan, pengadilan dan para terpidana tentang keabsahan petikan putusan sebagai dasar eksekusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah petikan putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi bisa digunakan sebagai dasar pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa Eksekutor. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari panitera pengadilan negeri, Kepala Lapas, Pengacara dan jaksa. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa petikan putusan merupakan surat sah namun sudah ditentukan dengan jelas bahwa yang dapat digunakan sebagai dasar eksekusi adalah salinan putusan (Pasal 270 KUHAP). Hal ini diperkuat adanya pasal 197 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini. Dengan demikian tidak ada dasar hukumnya bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan dasar Petikan putusan. Untuk memberikan kepastian hukum agar jangka waktu dalam pemberian salinan putusan dicantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga putusan pidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap segera dapat di eksekusi dengan salinan putusan.
Kata Kunci : Petikan-putusan-eksekusi.