Abstrak

Sastra ternyata sudah dapat melampaui “batas tekstual”. Sastra tidak lagi hanya berkutat pada teks, namun mulai berganti ke bentuk yang lain, seperti seni pertunjukan. Peralihan sastra ke wahana lain yang melampaui “batas tekstual” tersebut dikenal dengan alih wahana. Setiap hasil dari alih wahana merupakan sebuah karya baru karena di dalamya terdapat proses pengalihan. Proses alih wahana memberikan peluang kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya baru dengan sudut pandang yang berbeda. Nofa dan Dian mengalihwahanakan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari ke dalam pertunjukan tari Ronggeng Dukuh Paruk (2012) dengan menggabungkan jenis tari tradisional dengan tari kontemporer. Penelitian ini berbatas pada bentuk pengalihwahanaan dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari ke pertunjukan tari Ronggeng Dukuh Paruk (2012) karya Nofa Rina Anggraeni dan Dian Previtasari melalui perubahan bahasa tulis ke dalam unsur-unsur yang terdapat dalam pertunjukan tari meliputi gerak, tata panggung, tata cahaya, tata kostum, tata rias, properti, ekspresi, dan cerita dengan pendekatan teori ekranisasi George Bluestone (1957) meliputi penghapusan, penambahan, dan penciutan. Nilai-nilai sosial dan kultural dari pemilih teks novel juga tidak dapat dihilangkan. Koreografer hanya mengalihwahanakan beberapa bagian tertentu, tetapi koreografer tidak dapat melepaskan isi teks secara keseluruhan. Sensor dalam menciptakan sebuah karya juga berpengaruh dalam proses alih wahana. Hal tersebut menimbulkan adanya kompromi-kompromi atau negosiasi antara tradisional dan kontemporer, sehingga terjadi hybriditas dalam gerak dan musik dalam pertunjukan tari Ronggeng Dukuh Paruk (2012) antara modern atau kontemporer dan tradisional. Hal ini diwujudkan dalam gerak banyumasan dan kontemporer yang tidak lepas dari sisi konteks sosial dari  pemilik teks dan interpretasi koreografer atas teks tersebut.

Kata Kunci : alih wahana, tradisional, kontemporer