×
Seks dan seksualitas merupakan sebuah konstruksi, sehingga seks dan seksualitas tidak hanya merupakan wacana tubuh dan keinginan atau sekedar kebutuhan biologis tetapi juga sebuah wacana kekuasaan. Di dalam budaya patriarki, tubuh perempuan dikonsumsi sebagai objek pandang, sentuhan, keinginan pria, dan ideologi. Pada masyarakat postmodern, seksualitas diwarnai oleh semua fenomena seksual yang bertentangan dengan etika atau norma sosial. Dimasa milenial ini dimana konsumsi tidak hanya berbicara tentang produk tetapi juga keinginan. Tingginya tingkat konsumerisme yang terjadi menjadi peluang tersendiri bagi para penyedia jasa SPG. Banyaknya permintaan jasa ini memunculkan berbagai agensi penyalur SPG. Memiliki paras cantik, badan tinggi, tubuh langsing, kulit mulus, tubuh seksi mewarnai ketentuan untuk pelamar pekerjaan ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk wacana seksualitas yang digambarkan oleh pengarang dalam novel pop The Curse of Beauty karya Indah Hanaco; mengetahui latar belakang munculnya wacana seksualitas yang dialami oleh Sales Promotion Girl (SPG) yang tergambarkan dalam novel pop karya Indah Hanaco The Curse of Beauty; dan mengetahui bentuk kekerasan simbolis yang dialami oleh Sales Promotion Girl (SPG) yang tergambarkan dalam novel pop The Curse of Beauty karya Indah Hanaco. Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif interpretatif. Penelitian ini juga menggunakan teori wacana dari Michael Foucault untuk membedah seksualitas SPG dalam novel tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai SPG yang tergambarkan dalam novel mengalami marginalisasi serta opresi melalui wacana seksualitas yang terbentuk pula dalam wacana-wacan kecil seperti; wacana kecantikan yang terbentuk melalui adanya mitos-mitos kecantikan yang berkembang di masyarakat dengan berwujud standarisasi kecantikan. Selanjutnya, wacana seksualitas yang berkembang di masyarakat dibalut dengan tradisi dan agama. Dan wacana keperawanan yang tertuang dalam mitos-mitos keperawanan. Mitos keperawanan ini melekat erat dengan domestikasi perempuan dimana perempuan yang hanya berdiam diri di rumah memiliki pandangan positif karena mampu menjaga diri serta kesucianya. Sebaliknya perempuan yang sering keluar rumah bahkan bekerja sebagai SPG sudah pasti diragukan kegadisanya. Dengan kata lain, kesemua wacana tersebut membentuk perempuan sebagai korban dari kekerasan simbolis. Perempuan seakan ditinggikan melalui kecantikan mereka, sebaliknya dibalik bujuk serta iming-iming tersebut mereka menjadi subjekyang patuh pada segala bentuk ketertindasan yang mengarah pada mereka