Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transitivitas dalam bahasa Angkola yang dilatarbelakangi oleh munculnya pergeseran pemakaian bahasa Angkola pada keseharian generasi mudanya akibat pengaruh media sosial dewasa ini. Karena itu, penelitian ini akan mengungkapkan realisasi dari konstituen partisipan dan konstituen process ke dalam bahasa Angkola. Selain itu, akan diungkapkan juga pengaruh pola budaya masyarakat Angkola dalam menentukan sistem transitivitasnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), khususnya pada transitivitas. Sumber data penelitian diambil dari fenomena-fenomena bahasa hasomalon ‘bahasa sehari-hari’ dari masyarakat Angkola. Data awal diambil dari empatpuluh delapan orang informan Angkola, namun analisis data tidak dapat memunculkan keajegan pola karena terdapat banyak lesapan sehingga dilakukan penambahan data melalui seorang lagi informan dewasa, laki-laki, yang asalnya dari daerah Angkola dan menguasai bahasa Angkola yang dianggap lebih efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan data penelitian kali ini. Totalnya adalah empatpuluh sembilan informan yang terdiri dari empatpuluh delapan native speaker dan satu orang ahli. Data penelitian ini berupa kalimat tunggal dari bahasa hasomalon yang mengandung tipe-tipe proses dari transitivitas dalam bahasa Angkola. Tahapan analisis data menggunakan metode etnografi oleh Spradely (dalam Santosa, 2017) yang terdiri dari: analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema budaya.
Temuan dari penelitian ini terdiri dari: manasuka, non-conflated, dan conflated. Manasuka bermaksud bahwa konstituen partisipan pada hampir seluruh tipe proses memiliki kesempatan berada di awal, mulai dari actor 28%, behaver dan token 14%, goal, sayer, receiver, carrier, dan value sebanyak 7%, dan senser, verbiage, dan existent 3%. Dominasi actor 28% di awal ini membuktikan bahwa masyarakat Angkola termasuk aktif secara fisik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sementara itu, conflated yang menyatu antara konstituen partisipan dan konstituen process yang masing-masing muncul sebanyak 4% yang terdapat pada proses material (kreatif, dispositif, range (perpanjangan proses)), dan pada proses relasional atributif (morfem kosong, lokasi, adjektiva) telah menjadi gejala ideosinkretisitas pada transitivitas dalam bahasa Angkola. Hal ini memiliki penanda verba yang terdiri dari: penanda verba bermorfem {MaN- 'MaN'}, penanda verba bermorfem {Mar- Ber-'}, morfem kosong, lokasi, dan adjektiva. Kemudian, temuan lain terdapat pada konstituen process yang non-conflated yang berada di awal yang muncul sebanyak 84%. Kemunculan yang dominan ini menunjukkan bahwa masyarakat Angkola cenderung to the point dalam komunikasi sehari-harinya.
Penelitian ini memberikan rekomendasi kepada linguist lainnya agar dapat menjadi referensi dan pembanding dalam menelaah transitivitas pada bahasa Angkola maupun bahasa lainnya. Selain itu, masih banyak yang dapat diungkapkan dari penelitian ini jika ingin ditinjau dari sudut pandang yang lain. Bahkan jika penelitian ini ingin diteliti dari antarlintas bidang ilmu juga dapat menghasilkan temuan yang menarik. Dengan demikian, mengingat masih banyak jenis bahasa Angkola yang belum diteliti, maka kesempatan untuk menelaah kajian ini masih terbuka lebar. Semoga penelitian ini berkah dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu LSF ke depannya.

Kata kunci: transitivitas, bahasa Angkola, SFL, partisipan, proses