Penulis Utama : Yusuf Kurniawan
NIM / NIP : T151608003
×

Dalam satu dekade terakhir representasi diri melalui media sosial menjadi semakin populer dan dipraktikkan secara luas oleh banyak individu dari seluruh dunia. Bentuk representasi diri pun bervariasi tergantung dari minat masing-masing individu,  seperti  memposting foto  dan  video senam,  hewan  peliharaan,  tubuh sensual, dan eksplorasi urban yang ekstrim seperti rooftopping, yaitu kegilaan memanjat bangunan buatan manusia seperti gedung pencakar langit, menara komunikasi, jembatan, cerobong asap, dan crane.
Fakta menunjukkan bahwa jumlah akun Instagram rooftopping terus bertambah meski sudah banyak yang menjadi korban akibat selfie ekstrem tersebut. Banyak Instagrammer Indonesia melakukan representasi diri melalui rooftopping di media sosial (Instagram) seperti yang dilakukan oleh banyak rooftopper asing. Selain itu, masih  sangat  sedikit  yang diketahui  tentang  representasi  diri  orang  Indonesia melalui selfie ekstrem di media sosial.
Maka, penelitian etnografi dengan pendekatan Hermeneutik ini bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian, yaitu pertama menjelaskan bentuk representasi diri yang dilakukan oleh para rooftopper Indonesia di media sosial melalui rooftopping; kedua, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi para rooftopper   Indonesia dalam melakukan representasi diri di media sosial; dan ketiga, menjelaskan ideologi yang tercermin dari praktik representasi diri mereka di media sosial melalui rooftopping.
Dua teori utama digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu teori representasi Dramaturgi Erving Goffman (1959) dan teori Lingkaran Hermeneutik Wilhelm Dilthey. Kehidupan di layar (Instagram) dianggap sebagai panggung depan yang sangat dipengaruhi oleh manajemen impresi individu masing-masing, seperti menampilkan apa yang boleh dan tidak boleh dilihat oleh audiens. Sebaliknya, di panggung belakang justru sebaliknya.  Ini adalah ruang dimana individu dapat mengungkapkan kebenaran, yang seringkali bertentangan dengan apa yang mereka tampilkan di panggung depan. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk representasi diri yang dilakukan oleh para roofopper Indonesia di media sosial melalui rooftopping.
Selain itu, teori Lingkaran Hermeneutik digunakan untuk memberi makna representasi diri yang dilakukan oleh para rooftopper Indonesia di media sosial melalui tiga lapisan utama Lingkaran Hermeneutik, yaitu lapisan pertama (foto dan video rooftopping), lapisan kedua (rooftopper dan keluarganya), dan lapisan ketiga (rooftopper dan zaman). Setiap lapisan memiliki komponen yang lebih detail, seperti latar belakang ekonomi keluarga, idola, lingkungan, dan zaman. Teori tersebut digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi para roofopper  Indonesia untuk melakukan representasi diri melalui  rooftopping di media sosial dan untuk mengungkap ideologi yang mereka anut melalui praktik representasi diri di media sosial.

 

Disamping dua teori utama di atas, teori Representasi Stuart Hall (1997) dan teori media baru Marshall McLuhan: The Medium is the Message (1967) dan Jean Baudrillard: Simulacrum and Simulation (1981) juga diterapkan untuk mempertajam analisis data. Disamping itu, karena riset ini juga berhubungan dengan ranah psikologi dimana para rooftopper memiliki kecenderungan untuk mendapatkan pengakuan akan eksistensi diri mereka di dunia maya dan penghargaan diri dari para pengguna media sosial, teori psikologi Abraham Maslow Hierarchy of Needs (1943) diperlukan untuk memperkuat argumen dalam analisis data.
Instagram dipilih sebagai sumber data primer karena Instagram lebih berbasis foto dan video. Selain itu, mayoritas para rooftopper Indonesia merepresentasikan diri melalui Instagram daripada melalui media sosial lainnya. Empat belas informan yang terdiri dari tiga belas laki-laki dan satu perempuan rooftopper Indonesia berusia antara empat belas dan dua puluh satu tahun direkrut melalui teknik snowball sampling. Data primer dikumpulkan melalui akun Instagram para informan (melalui screenshot) dan wawancara mendalam secara tatap muka maupun termediasi. Data yang dikumpulkan dari akun Instagram terdiri dari lima puluh dua foto dan enam video rooftopping terpilih dari ratusan foto dan video tenda. Transkrip wawancara dibuat untuk memudahkan analisis data. Data sekunder adalah segala jenis informasi yang berkaitan dengan representasi diri melalui media sosial dan rooftopping yang diperoleh dari penelitian sebelumnya di seluruh dunia dan studi tentang rooftopper asing baik di artikel jurnal maupun di Instagram.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sembilan bentuk representasi diri yang dilakukan oleh para rooftopper Indonesia di media sosial, yaitu berdiri di tepi rooftop, duduk di tepi rooftop, berpegangan pada rail, berjalan di tepi rooftop, berdiri di tengah rooftop, berdiri di atas tower, berdiri di atas crane, berada di bahu jembatan, dan memotret pemandangan di sekitar rooftop. Dari segi bentuk representasi diri ini, rooftopper Indonesia sebagian besar melakukan adaptasi dari roofopper asing (terutama Russia dan China) dan seorang roofopper Indonesia yang menginspirasi mereka.  Sebagian besar informan tahu tentang rooftopping dari Instagram dan sebagian lainnya dari teman bergaul mereka. Banyak diantara mereka yang berhasil menampilkan representasi diri dengan melakukan manajemen kesan, namun ada juga yang tidak berhasil menunjukkan performa yang mulus. Mereka menggunakan beberapa isyarat tangan dan jari untuk menunjukkan kebebasan dan kemenangan. Namun, jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh rooftopper di luar negeri, yang dilakukan oleh para rooftopper di Indonesia tidak seekstrem dalam hal bentuk representasi diri dan ketinggian bangunan atau crane yang didaki. Beberapa bentuk representasi diri yang tidak ditiru oleh para rooftopper di Indonesia adalah memanjat cerobong asap  dan kincir (bianglala).
Beberapa faktor yang mempengaruhi para rooftoppers Indonesia untuk melakukan representasi diri di media sosial adalah pertama mereka ingin menunjukkan eksistensi virtualnya sebagai urban explorer dan rooftopper; kedua, mereka terobsesi menjadi terkenal di media sosial (menjadi selebgram); dan ketiga, mereka terobsesi untuk menghasilkan uang dari jumlah like dan follower, endorsement, dan paid partnership. Hal tersebut dipengaruhi oleh latar belakang

 

ekonomi orang tua mereka, bagaimana orang tua mereka mendidik mereka, di mana mereka tinggal (milieu), dengan siapa mereka berteman, dan idola mereka.
Hal-hal yang terungkap dari jawaban pertanyaan penelitian kedua mengarah pada jawaban pertanyaan terakhir, yaitu ideologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  yang direpresentasikan oleh para rooftopper  Indonesia di media sosial adalah aktualisasi nilai-nilai pragmatisme, yaitu niat tergesa-gesa untuk menjadi terkenal dan kompensasi finansial melalui praktik representasi diri yang praktis dan cepat  di  media  sosial  melalui  selfie  ekstrim. Hal  ini  sangat  dipengaruhi  oleh kemajuan aplikasi media sosial, mobile internet, jaringan seluler, teknologi canggih smartphone, dan teknologi fotografi digital. Cara bagaimana pesan disampaikan jauh lebih penting daripada pesan itu sendiri. Cara para rooftopper merepresentasikan diri (menggunakan media sosial) jauh lebih penting daripada apa yang mereka katakan. Akhirnya representasi diri mereka menjadi simulacra dan simulasi. Mereka diproduksi tanpa harus berasal dari salinan aslinya.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bentuk representasi diri para roofopper Indonesia merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari bentuk-bentuk representasi diri para roofopper asing, seperti dari Rusia dan Inggris; maka banyak diantaranya yang mirip. Namun, banyak rooftopper Indonesia yang tidak paham tentang apa yang mereka maksud ketika mereka menunjukkan beberapa bentuk komunikasi simbolik, seperti salam jari. Mereka cenderung hanya meniru apa yang mereka lihat dari foto rooftopper lain. Bagaimanapun, mereka masih terlihat seperti amatir dari cara mereka beraksi rooftopping di atas rooftop atau crane, peralatan mereka, dan penampilan mereka saat beraksi.
Terobsesi menunjukkan identitas virtual sebagai urban explorer atau rooftopper, dikenal oleh banyak orang di media sosial (memiliki banyak like dan follower), dan mendapatkan kompensasi finansial dari penyedia layanan media sosial, pendukung, dan pengiklan dianggap sebagai faktor-faktor utama yang mendorong para roofopper Indonesia melakukan representasi diri di media sosial. Masa remaja dimana remaja kebanyakan mencari jati diri, memiliki emosi yang tidak stabil dan perilaku yang tidak terkendali dianggap sebagai pemicu besar yang berkontribusi pada munculnya faktor-faktor tersebut. Apalagi, media sosial menyediakan kanvas tanpa bingkai untuk melukis diri dan identitas virtual mereka.
Akhirnya, penelitian ini mengungkap betapa hebatnya media baru dalam mempengaruhi masyarakat. Praktik representasi diri yang dilakukan para roofopper Indonesia dapat disimpulkan sebagai kritik terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat bahwa proses (kerja keras dan ketekunan) diperlukan untuk mencapai suatu tujuan atau kesuksesan. Sebaliknya, generasi Z ingin memperpendek proses tersebut agar tujuan mereka lebih cepat tercapai; media sosial memungkinkan hal ini terjadi. Namun, hal ini tidak selalu berjalan mulus. Rendahnya apresiasi budaya dan masyarakat Indonesia serta tingginya resiko dan sanksi jika para rooftopper Indonesia tertangkap basah menurunkan niat dan motivasi mereka setelah beberapa tahun menjadi rooftopper. Setelah berhenti dari melakukan rooftopping, mereka lebih suka melakukan aktivitas atau pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Ini menandakan bahwa mereka menganut ideologi pragmatism, yang merupakan buah dari kapitalisme global.

 

Tak kalah pentingnya, apa yang dilakukan para rooftopper Indonesia juga bisa dianggap sebagai counter terhadap nilai-nilai budaya yang mapan di negara timur. Di Indonesia, sebagian besar anak masih “didikte” oleh orang tuanya dalam banyak hal hingga akhir usia sembilan belas atau awal dua puluhan, dari hal-hal sepele seperti cara berpakaian sampai sekolah atau program studi mana yang dipilih, cara berteman dan lain sebagainya. Dalam budaya barat, usia tujuh belas tahun dianggap sebagai ambang batas dimana remaja mulai merayakan kebebasan mereka dalam membuat keputusan sendiri untuk banyak hal penting dalam hidup mereka, seperti memilih pasangan hidup, memeluk agama (atau tidak), dan memilih sebuah pekerjaan.
Sebuah kritik terhadap teori dramaturgi Erving Goffman (1959) adalah teori ini sudah tidak lagi sepenuhnya relevan untuk menganalisis representasi diri di dunia maya. Dibutuhkan pengetahuan dan keahlian di bidang teknologi informasi, fotografi, dan videografi yang memadai agar seseorang berhasil merepresentasikan diri di media sosial secara lebih meyakinkan.

Kata kunci: Lingkaran Hermeneutik, Media Sosial, Representasi Diri, Rooftopper, Rooftopping

 

×
Penulis Utama : Yusuf Kurniawan
Penulis Tambahan : -
NIM / NIP : T151608003
Tahun : 2021
Judul : Representasi Diri Para Rooftopper Jakarta, Indonesia Melalui Rooftopping di Media Sosial: Sebuah Kajian Hermeneutik
Edisi :
Imprint : Surakarta - Pascasarjana - 2021
Program Studi : S-3 Kajian Budaya
Kolasi :
Sumber : UNS - Pascasarjana, Prog. Studi Doktor Kajian Budaya - T151608003 - 2021
Kata Kunci :
Jenis Dokumen : Disertasi
ISSN :
ISBN :
Link DOI / Jurnal : -
Status : Public
Pembimbing : 1. Prof. Drs. Mugijatna, M.Si, Ph.D
2. Prof. Dr. Warto, M.Hum
Penguji :
Catatan Umum :
Fakultas : Sekolah Pascasarjana
×
File : Harus menjadi member dan login terlebih dahulu untuk bisa download.