×
Ketahanan pangan rumah tangga menjadi fokus utama dunia untuk mengatasi masalah kelaparan secara global. Rumah tangga disabilitas menghadapi kerawanan pangan yang jauh lebih besar daripada rumah tangga non disabilitas (Heflin et al., 2019; Sonik et al., 2016; Coleman-Jensen & Nord, 2013). Laporan World Food Programme (2020) menunjukkan bahwa kerawanan pangan rumah tangga disabilitas Indonesia menunjukkan proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan non disabilitas yaitu sebesar 86% terjadi pada rumah tangga disabilitas, sedangkan kerawanan pangan rumah tangga non disabilitas hanya sebesar 14%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan ketahanan pangan rumah tangga disabilitas dan rumah tangga tanpa disabilitas serta pengaruh aset rumah tangga dan karakteristik rumah tangga terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Data penelitian ini menggunakan data sekunder dari Indonesia Family Life Survey gelombang 5 mencakup 2.865 rumah tangga dengan disabilitas dan 11.566 rumah tangga tanpa disabilitas yang pengambilan data dilakukan di Indonesia pada tahun 2014 mencakup 24 provinsi, 296 kabupaten, dan 1.812 kecamatan sehingga data penelitian ini menggunakan data cross section. Penelitian ini menggunakan metode regresi multilevel logistik untuk melihat pengaruh variabel level rumah tangga, kecamatan, kabupaten dan provinsi dengan alat bantu STATA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang signifikan berpengaruh pada level rumah tangga meliputi pendidikan ibu, pendidikan kepala rumah tangga, interaksi jenis disabilitas dan raskin, kepemilikan tabungan, kepemilikan pinjaman, penerima raskin, kepemilikan kendaraan, kepemilikan akses informasi, kepemilikan rumah, kepemilikan lahan pertanian, partisipasi arisan, umur kepala keluarga, dan anggota rumah tangga. Sedangkan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketahanan pangan disabilitas pada level provinsi adalah PDRB perkapita provinsi. Kebijakan pangan dan gizi rumah tangga rawan pangan terutama penyandang disabilitas perlu diperimbangkan. Selain itu, diperlukannya regenerasi sistem pendidikan dan pelatihan agar penyandang disabilitas menjadi produktif sehingga dapat menekan persepsi masyarakat yang menganggap disability as problem.