Aksi terorisme yang termasuk ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tidak hanya berdampak secara fisik melainkan juga psikologis. Setiap aktor dalam tindakan terorisme tentu mendapatkan stigma yang melekat dalam diri mereka. Mantan napiter yang ingin kembali ke masyarakat, tentu memiliki pengalaman reintegrasi sosial yang berbeda - beda dan menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses reintegrasi sosial yang dijalani oleh mantan napiter di wilayah Soloraya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan naratif. Informan penelitian diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling yang menetapkan beberapa kriteria khusus. Data dikumpulkan melalui proses wawancara terstruktur. Validasi data dilakukan dengan triangulasi sumber serta kajian terhadap literatur relevan yang bertujuan untuk memperkuat data penelitian. Proses reintegrasi sosial mantan napiter tidak dapat dipisahkan dari tahapan yang menyertainya. Tahapan tersebut terbagi menjadi tiga fase yakni pemisahan dengan masyarakat (segregation), penerimaan hukuman pidana (liminality), serta kembali ke masyarakat dan menjalani kehidupan sosial seperti sediakala (reintegration). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pada awalnya terdapat beberapa kesulitan, namun proses reintegrasi sosial yang dijalankan oleh mantan napiter berlangsung dengan mudah karena sikap keterbukaan yang ditunjukkan oleh informan. Sikap tersebut menjadikan masyarakat lebih mudah untuk menerima kembali kehadiran mantan napiter dan hidup berdampingan di lingkungan sosial. Keberhasilan proses reintegrasi sosial tidak hanya tergantung pada individu yang bersangkutan, melainkan adanya dukungan dari lembaga pemerintah terkait serta yayasan non pemerintah yang berfokus pada isu serupa.