Banyaknya pemberitaan kasus pelecehan seksual di ruang publik, media sosial, hingga instansi pendidikan membuat masyarakat justru menyudutkan dan menyalahkan korban atau victim blaming. Penelitian sebelumnya mengungkapkan victim blaming ada karena masyarakat memiliki sikap acuh dan cenderung menormalisasi peristiwa pelecehan seksual yang terjadi, menjadikan hal tersebut hal yang lumrah. Padahal dampak pelecehan seksual pada korban tidak ringan, tetapi masih saja mendapat pandangan negatif oleh masyarakat, termasuk kaum intelektual, contohnya mahasiswa.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif terhadap mahasiswa UNS berusia 19—24 tahun dan dipilih dengan teknik purposive sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami konstruksi sosial mahasiswa terhadap kasus- kasus pelecehan seksual. Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi kemudian dianalisis dengan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990), yang menggunakan proses dialektika stimultan pengetahuan untuk memahami terbentuknya realitas sosial yang ada di masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan proses pembentukan pengetahuan berpengaruh terhadap aktivitas dan aturan-aturan yang diciptakan oleh masyarakat. Budaya victim blaming pada perempuan korban pelecehan seksual ada karena hasil budaya patriarki yang masih terus dieksternalisasikan dan diwariskan secara turun- temurun lewat internalisasi dari keluarga. Pada momen objektivasi, “kenyataan” tersebut dikukuhkan melalui aturan-aturan dalam masyarakat hingga mengakar kuat sebagai suatu realitas sosial dan kembali dieksternalisasikan oleh mahasiswa lewat komentar-komentar, penampilan, serta perbuatan dalam bermasyarakat. Hal tersebut dapat digeser dengan realitas lain dalam masyarakat yang meyakini bahwa pakaian tidak menyebabkan pelecehan seksual.

Kata Kunci: mahasiswa, konstruksi sosial, pelecehan seksual, victim blaming