×
ABSTRAK Iklan Axe “Call Me” versi “Sauce”, ”Mist”, “Special Need”, “Lost” peneliti angkat karena iklan-iklan tersebut merupakan iklan dengan target sasaran laki-laki, sehingga berpotensi adanya bias gender dalam hal bagaimana peran dan posisi sosial perempuan ditampilkan. Iklan ini menunjukkan adanya gejala eksploitasi terhadap tubuh perempuan, karena beberapa iklan tersebut menampilkan perempuan dalam balutan busana mini, gesture yang menawarkan sensualitas/seksualitas dan terdapat pengambilan gambar yang hanya menunjuk beberapa fragmen tubuh vitalnya secara ‘eksklusif’. Selain itu, iklan AXE versi “Sauce”, “Mist”, “Special Need”, dan “Lost”, merupakan iklan AXE versi Indonesia pertama, dengan setting dan pemeran dari Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana iklan televisi membentuk wacana eksploitasi tubuh perempuan sebagai salah satu strategi pemasaran produk, bagaimana proses produksi iklan AXE dan konstruksi perempuan dalam iklan AXE menurut pembuat iklan, dan bagaimana penonton iklan memaknai iklan-iklan tersebut, dan terakhir ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pemaknaan teks iklan tersebut. Penelitian ini termasuk studi analisis wacana kritis dengan menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan paradigma kritis. Secara ontologis penelitian ini beranggapan bahwa realitas dalam iklan merupakan realitas semu, hasil konstruksi produser yang dipengaruhi faktor sosial, politik, budaya, ekonomi, nilai gender,dll. Secara epistemologis, hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Secara metodologis, penelitian ini menggunakan multilevel-analysis, yaitu teks, produsen dan konsumen, dan sosiokultural.Data dalam penelitian ini berwujud sumber tertulis, yaitu data-data mengenai iklan, serta kutipan dari hasil wawancara dengan 13 informan yang diperoleh melalui wawancara menggunakan email dan teknik rekam. Pada level teks, dapat disimpulkan bahwa di dalam iklan AXE terdapat wacana eksploitasi tubuh perempuan secara fisik maupun nonfisik. Eksploitasi secara fisik ditunjukkan dengan adanya shot-shot yang mengeksploitir beberapa bagian tubuh tertentu seperti bibir, dada, pundak, dan pinggul, disertai bahasa tubuh dan ekspresi yang menunjang terbentuknya imej sexy pada iklan ini. Sedangkan secara non fisik ditunjukkan dengan menampilkan perempuan dalam berbagai karakter seperti mudah tergoda laki-laki, seksi, dan agresif. Dari segi produksi iklan AXE dapat dilihat bahwa Steve Elrick sebagai produser iklan AXE telah mengkonstruksi perempuan sebagai sosok yang natural dan jujur dalam menarik perhatian laki-laki muda. Ia hanya menganggap itu sebagai dramatisasi dari jargon “The AXE Effect” yang disajikan dengan format parodi humor. Sedangkan dari sisi konsumen, penafsiran yang dilakukan oleh penonton dalam iklan ini secara garis besar sama dengan yang ditangkap oleh peneliti dalam analisa teks. Selain itu, semua informan menyatakan bahwa terdapat perbedaan budaya di dalam iklan AXE. Artinya meskipun mengambil setting tempat dan model dari Indonesia, namun iklan ini tetap tidak sesuai dengan realita sosial budaya Indonesia.Pada analisis level sosiokultural, dengan melihat bahwa Indonesia merupakan sebuah pasar yang potensial bagi AXE, maka diproduksilah iklan AXE versi Indonesia ini. Selain itu budaya populer juga mempengaruhi bagaimana perempuan ditampilkan dalam iklan AXE. Di dalam budaya populer, yang sangat berorientasi pada profit, maka perempuan bersama sensualitas dan seksualitasnya ditampilkan sebagai daya tarik dalam iklan AXE yang notabene memiliki pasar kaum laki-laki. Selain itu,iklan AXE menampilkan unsur seksualitas secara halus agar tidak terlalu bergesekan dengan budaya Indonesia, maka dilakukan beberapa adaptasi dengan budaya Indonesia. Dalam hal menampilkan citra produk AXE, yang dapat membuat perempuan berubah menjadi agresif dan menggoda kepada pria-pria pemakai AXE, kreator iklan sebenarnya mengambil realitas sosial tentang hegemoni patriarki yang sudah ada dalam masyarakat sejak dahulu kala, lalu memformulasikannya dengan keinginan pemilik modal (kapitalisme), citra produk yang harus dibangun, lalu karakteristik dari target sasaran, yaitu pria-pria muda di Indonesia yang cenderung lebih pemalu dan menginginkan pihak wanita yang lebih agresif. Sehingga kemudian membentuk realitas kedua mengenai perempuan yang ‘agresif’