Pengakuan dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) perihal situs warisan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai suatu negara. Dalam prosesnya, perbedaan penyajian narasi sejarah menjadi perdebatan oleh negara yang berkonflik di masa perang. Jepang merupakan negara yang aktif dalam mendaftarkan situs-situs warisannya, tidak terkecuali untuk warisan dengan sejarah perang yang traumatis bagi negara lain. Peristiwa ini ditemui pada peresmian Pulau Hashima yang mendapat kecaman keras dari Korea Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah proses diskusi yang terjadi dalam UNESCO World Heritage Committee ke-39 ketika meresmikan Pulau Hashima sebagai Situs Warisan Dunia. Penelitian ini menyajikan data secara kualitatif deskriptif dengan studi pustaka sebagai teknik pengumpulan data, baik dari artikel maupun situs resmi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sejak awal munculnya protes, UNESCO dan Komite Warisan Dunia mengusahakan dialog untuk membahas masing-masing sudut pandang. Jepang dan Korea Selatan juga aktif berdiskusi dengan anggota Komite lainnya serta mencari dukungan. Jepang sebagai negara dengan pengaruh politik dan ekonomi yang besar dalam organisasi internasional dapat memiliki suara lebih dalam menentukan keputusan. Dalam pelaksanaannya, penulis melihat adanya kontribusi besar, posisi penting dan durasi jabatan yang diduduki Jepang dalam organisasi, serta bantuan dari negara lain, yang dapat mempengaruhi interaksi dan memutuskan hasil akhir rapat. Meskipun situs tersebut memiliki sejarah yang sulit dan menimbulkan kontroversi sehingga dikatakan sebagai difficult heritage, Jepang mengerahkan upaya-upaya agar Pulau Hashima berhasil diloloskan.

Kata Kunci: UNESCO, World Heritage Committee, Japan, Pulau Hashima, Difficult Heritage