Arif Saefudin. T872008006. 2023. Living Historical Memory (LHM) Perjuangan Masyarakat Purbalingga Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) sebagai Bahan Pengayaan Pembelajaran Sejarah di Sekolah Penggerak Kabupaten Purbalingga. DISERTASI: Promotor: Prof. Dr. Wasino, M.Hum. Co-Promotor I: Dr. Susanto, M.Hum. Co-Promotor II: Prof. Dr. Akhmad Arif Musadad, M.Pd. Program Studi Doktoral Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Living historical memory (LHM) sekitar peristiwa revolusi Indonesia 1945-49 di Kabupaten Purbalingga cenderung terlupakan, terutama tentang pendidikan pewarisan kepada generasi muda. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi LHM perjuangan masyarakat di wilayah Kabupaten Purbalingga; (2) menganalisis modul ajar guru sejarah dalam menanamkan nilai-nilai LHM perjuangan masyarakat Purbalingga; (3) menganalisis proses pembelajaran LHM di SMA dengan materi perjuangan masyarakat Purbalingga pada masa revolusi kemerdekaan 1945-1949; (4) menganalisis apresiasi dan persepsi peserta didik setelah proses implementasi pembelajaran sejarah. 
Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif di Kabupaten Purbalingga, tepatnya di SMA Negeri 1 Kejobong dan SMA Negeri 1 Kemangkon. Sumber data terdiri dari informan (tokoh, guru sejarah dan peserta didik), tempat dan peristiwa (aktivitas pembelajaran), dokumen (perangkat pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi langsung, dan telaah dokumen. Validitas atau keabsahan data menggunakan triangulasi, member check, dan audit eksternal. Analisis data menggunakan analisis interaktif dengan tiga tahap analisis, yaitu kondensasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi yang berinteraksi secara terus menerus. 
Temuan penelitian menunjukkan bahwa: (1) living historical memory (LHM) di Kabupaten Purbalingga memiliki tiga bentuk: monumen, nama jalan, dan kenangan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia dari tahun 1945 hingga 1949. LHM teridentifikasi tumbuh dengan menyediakan berbagai sarana untuk menanamkan identitas nasional, terutama di negara berkembang seperti Indonesia; (2) guru sejarah diberi kebebasan dalam perencanaan pembelajaran, terutama dalam mengangkat sejarah lokal, namun, masih terlihat dominasi signifikan atau “kontrol kurikulum” negara, meskipun kurikulum ini mempunyai nama: kurikulum merdeka; (3) dalam proses pembelajaran, ditemukan LHM yang “aktif” atau dalam kondisi “tidak aktif”. Guru sejarah menunjukkan usaha yang positif dan memberikan tingkat konsensus yang lebih tinggi pada peserta didik, yang menunjukkan guru tidak berpegang pada satu sumber sejarah resmi. Hal ini terlihat dari suasana yang kondusif dan dialogis dalam pembelajaran; (4) apresiasi peserta didik terhadap pembelajaran sejarah sangat beragam, beberapa berargumen bahwa nilai-nilai sejarah tetap relevan dalam dunia yang semakin berkembang. Namun demikian, ada beberapa peserta didik yang apatis, meski tidak mayoritas.