Pelaksanaan pendidikan inklusi di Kecamatan Mojogedang dinilai masih belum ideal. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan fisik dan non-fisik yang dialami oleh difabel. Hambatan tersebut terjadi karena adanya anggapan di lingkungan keluarga difabel, sekolah inklusi dan non-inklusi serta masyarakat, bahwa difabel berbeda secara fisik dan intelektualnya dengan orang “normal”. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terbentuknya konstruksi sosial “normal” pada difabel yang berakibat pada hambatan implementasi pendidikan inklusi, lalu upaya yang dilakukan oleh PPRBM Solo serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar untuk mengatasi konstruksi sosial “normal”. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Konstruksi Sosial oleh Berger dan Luckman, melalui 3 proses yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengambilan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif. Teknik validitas data menggunakan triangulasi data, dan metode. Lokasi penelitian berada di Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: proses eksternalisasi, keseluruhan informan melakukan pengamatan terhadap kondisi difabel dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap obyektivasi, keluarga menganggap bahwa difabel berbeda secara fisik dengan orang “normal” tetapi kemampuan intelektual dinilai cukup baik. Pihak sekolah menganggap bahwa difabel memiliki perbedaan dengan orang “normal” secara fisik dan intelektualnya. Sedangkan masyarakat menganggap bahwa difabel berbeda dengan orang “normal”. Pada tahap internalisasi, keluarga berusaha untuk membantu difabel di sekolah dan pasrah terhadap kondisi yang menyulitkan bagi difabel. Pihak sekolah inklusi dan non-inklusi memberikan saran agar difabel di pindah ke SLB, kelas antara anak difabel dan anak normal dibedakan serta tidak terpenuhinya sarana dan prasarana. Sedangkan terdapat masyarakat yang menginginkan agar difabel bersekolah di SLB. Untuk itu, upaya yang dilakukan oleh PPRBM Solo adalah dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap difabel melalui berbagai macam program yang telah dijalankan. Namun, upaya PPRBM Solo belum berhasil karena kebijakan Pemerintah belum berperspektif difabel. Lalu upaya dari Dinas adalah dengan memastikan agar peserta didik difabel tidak ditolak di sekolah inklusi maupun non-inklusi dan mengupayakan pemenuhan sarana serta prasarana. Upaya yang dilakukan oleh Dinas belum berhasil karena adanya keterbatasan biaya.