Rivalitas antara kelompok suporter sepak bola di Indonesia, khususnya antara kelompok suporter Persis Solo dan PSIM Yogyakarta, telah sejak lama termanifestasi dalam berbagai bentuk permusuhan, baik secara fisik, simbolik, maupun kultural. Namun, kemunculan gerakan perdamaian Mataram is Love,  menandai perubahan besar dengan berhasil menciptakan perdamaian secara nyata diantara kedua kelompok suporter sepak bola tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran media sosial X dalam gerakan Mataram is Love serta mendalami bagaimana perdamaian sebagai sebuah realitas dapat dibangun oleh kelompok suporter Persis Solo dan PSIM Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, yang berfokus pada unggahan digital dan interaksi di media sosial X yang terkait dengan gerakan Mataram is Love. Teknik pengumpulan data meliputi wawancara mendalam dengan aktor yang terlibat dalam gerakan Mataram is Love dan dokumentasi digital di platform media sosial X. Kerangka teoritis dalam penelitian ini didasarkan pada teori konstruksi realitas sosial oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Kerangka teoritis ini digunakan untuk memahami secara mendalam bagaimana perdamaian dibangun dan diperkuat baik secara individual maupun sosial.

Hasil penelitian menunjukan bahwa media sosial X memainkan empat peran utama dalam gerakan Mataram is Love: (1) memfasilitasi ekspresi terbuka tentang aspirasi perdamaian, (2) menjadi saluran penyebaran informasi gerakan perdamaian Mataram is Love, (3) memfasilitasi dialog interaktif di antara para individu suporter, dan (4) menjembatani transformasi aksi digital menuju aksi kolektif di dunia nyata. Peran-peran yang dimiliki oleh X ini mendukung proses konstruksi realitas sosial melalui 3 momen dialektis yang dirumuskan oleh Berger dan Luckmann. Pada fase eksternalisasi, individu suporter mengekspresikan aspirasi perdamaian melalui media sosial X. Pada fase objektivasi, terjadi aksi simbolik pertemuan damai secara berulang kali dan adanya dukungan legitimasi dari pihak eksternal. Lalu pada fase internalisasi, perdamaian telah diterima menjadi norma sosial baru diantara kelompok suporter yang sebelumnya berkonflik.